KETIK, PALEMBANG – Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi Pengadaan Tanah untuk pembangunan Jalan Tol Betung (Sp Sekayu)-Tempino-Jambi kembali memanas.
Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor Palembang, Selasa 16 Desember 2025, tim kuasa hukum terdakwa Abdul Halim Ali alias Haji Halim (88) melontarkan keberatan keras terhadap dakwaan jaksa penuntut umum.
Agenda sidang kali ini adalah pembacaan nota keberatan atau eksepsi. Ketua tim penasihat hukum terdakwa, Jan Maringka, menegaskan bahwa dakwaan jaksa dinilai cacat hukum dan tidak memenuhi prosedur hukum acara pidana.
Di hadapan majelis hakim yang diketuai Hakim Fauzi Isra, Jan Maringka menyampaikan bahwa kliennya didakwa tanpa pernah melalui proses pemeriksaan sebagai saksi maupun tersangka.
“Klien kami langsung didakwa tanpa pernah diperiksa. Padahal, dalam KUHAP, penetapan tersangka harus didahului proses penyelidikan dan penyidikan dengan minimal dua alat bukti,” tegas Jan dalam persidangan.
Jan menilai jaksa telah melanggar prinsip dasar KUHAP dengan langsung melimpahkan perkara ke tahap penuntutan. Bahkan, pihaknya menduga adanya kejanggalan serius dalam penyusunan berita acara hingga surat dakwaan.
“Kami menduga ada rekayasa. Surat dakwaan kami terima dalam waktu sangat singkat dan terkesan dipaksakan. Ini jelas merugikan hak-hak terdakwa, terutama hak untuk mengajukan praperadilan,” ujarnya.
Atas dasar itu, tim kuasa hukum meminta majelis hakim mengabulkan seluruh eksepsi dan menyatakan dakwaan jaksa tidak dapat diterima.
Usai persidangan, Jan Maringka kembali menegaskan keberatan pihaknya terhadap proses hukum yang dijalankan jaksa, terlebih mengingat kondisi kliennya yang telah lanjut usia.
“Kami sudah mendampingi klien hampir sembilan bulan, melalui surat-menyurat, kunjungan lapangan, hingga pendampingan intensif. Namun jaksa justru mempersulit jalannya persidangan, meski mengetahui kondisi kesehatan Haji Halim,” katanya.
Suasana sidang lanjutan perkara dugaan korupsi pengadaan tanah Tol Betung-Tempino-Jambi di Pengadilan Tipikor Palembang, Selasa 16 Desember 2025. (Foto: M Nanda/Ketik.com)
Keanehan lain yang disorot tim penasihat hukum adalah rentang waktu perbuatan pidana dalam surat dakwaan, yang disebut berlangsung sejak tahun 2002 hingga Agustus 2025.
“Ini tidak masuk akal. Jaksa perlu memahami konsep tempus delicti. Tidak mungkin satu perbuatan pidana berlangsung lebih dari 25 tahun. Selain itu, ada persoalan daluwarsa pidana yang seharusnya dipertimbangkan,” tegas Jan.
Menurutnya, perkara ini sejatinya berkaitan dengan pembebasan lahan untuk kepentingan umum. Jika terdapat sengketa kepemilikan tanah atau tanaman, mekanisme yang tepat adalah konsinyasi, bukan pidana.
Ia juga menyesalkan sikap jaksa yang dinilai tidak mampu menyerahkan berkas perkara sesuai perintah pengadilan, serta mengalihkan persoalan pada hal-hal lain.
“Sistem pemidanaan hari ini juga harus memperhatikan HAM dan hak-hak lansia,” tambahnya.
Sementara itu, Kasi Intel Kejari Muba Abdul Harris Augusto menyampaikan bahwa eksepsi telah disampaikan dan pada prinsipnya menyangkut pokok perkara yang akan dibuktikan dalam persidangan.
“Penasihat hukum juga menyampaikan adanya pengakuan penerimaan uang, namun mereka berpendapat sudah lewat batas waktu penuntutan. Terhadap eksepsi tersebut, JPU akan memberikan tanggapan sesuai waktu yang diberikan Majelis Hakim, yakni satu minggu ke depan,” pungkasnya.
Sidang pun ditutup dan akan kembali dilanjutkan dengan agenda tanggapan jaksa penuntut umum atas eksepsi terdakwa.(*)
