KETIK, PACITAN – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pacitan melalui Disdagnaker setempat mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati terhadap tawaran kerja ke luar negeri.
Peringatan ini disampaikan setelah maraknya flyer dan poster yang menawarkan pekerjaan ke luar negeri, namun setelah dicek ternyata ilegal.
Kepala Bidang Tenaga Kerja dan Transmigrasi Disdagnaker Pacitan, Supriyono, mengatakan bahwa tawaran semacam ini sering kali dimanfaatkan agen tidak bertanggung jawab.
"Hati-hati dengan flyer dan poster yang menawarkan pekerjaan ke luar negeri. Tolong dicek terlebih dahulu, bisa ditanyakan ke WhatsApp Disdagnaker Pacitan," katanya, Rabu, 19 November 2025.
Dalam hal ini, Supri memaparkan bahwa pekerja migran Indonesia (PMI) terbagi menjadi dua kategori: prosedural dan non-prosedural.
PMI prosedural adalah mereka yang berangkat melalui mekanisme resmi pemerintah, dilengkapi dokumen, pelatihan, kontrak kerja yang jelas, serta perlindungan dari negara.
Sementara itu, PMI non-prosedural berangkat tanpa dokumen lengkap, tanpa pendampingan, dan sangat rentan menjadi korban eksploitasi atau bahkan perdagangan orang.
"Banyak kasus bermula dari iming-iming tersebut, lalu berakhir pada kerugian bagi korban, baik secara ekonomi maupun keselamatan," paparnya.
Padahal, imbuhnya, pemerintah sudah menyediakan skema pembiayaan dan perlindungan bagi calon pekerja migran Indonesia (CPMI) yang prosedural.
"Kalau non prosedural, pemerintah tidak bisa menjamin keselamatannya," jelasnya.
Di Pacitan sendiri, Disdagnaker mencatat dua kasus serius dalam lima tahun terakhir.
Pertama, seorang pria yang diketahui meninggal dunia saat bekerja di luar negeri tanpa melalui jalur resmi, hingga dipulangkan negara.
Kedua, seorang wanita asal Kecamatan Tulakan yang hingga kini belum bisa pulang ke tahah air.
Wanita tersebut berangkat ke luar negeri dengan bantuan agen. Ia diminta melengkapi berkas, lalu diberangkatkan ke Batam sebelum naik kapal menuju Malaysia.
"Setelah tiba dan bertemu majikan, ia (wanita) bekerja tanpa menerima gaji selama delapan bulan pertama. Kejadian itu berlangsung sejak 2011. Selama tinggal di sana, ia bahkan dieksploitasi, menikah siri dan memiliki dua anak," ceritanya.
Supriyono menambahkan bahwa kasus-kasus seperti ini menjadi bukti betapa berbahayanya jalur non-prosedural.
Selain tidak mendapatkan perlindungan hukum maupun sosial, korban sering mengalami eksploitasi berkepanjangan.
"Hingga kini proses pemulangannya belum dapat dilakukan. Perempuan tersebut berharap bantuan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk bisa kembali ke tanah air," ungkapnya.
Sebagai informasi, sepanjang 2025 Disdagnaker Pacitan telah mencatat 200-an calon pekerja migran Indonesia (CPMI) yang akan berangkat secara prosedural ke luar negeri.
Mereka kini sedang menyiapkan dokumen sesuai aturan dan mengikuti proses resmi agar memperoleh perlindungan penuh dari pemerintah.
"Kami berharap masyarakat Pacitan selalu memastikan bahwa setiap tawaran kerja di luar negeri berasal dari sumber resmi dan terdaftar di instansi pemerintah, sehingga risiko kerugian dapat dihindari," tutupnya.(*)
