KETIK, SLEMAN – Kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pada 2026 yang memangkas secara drastis kegiatan dinas di hotel diperkirakan akan menimbulkan dilema baru bagi industri perhotelan di Sleman.
Di satu sisi, hotel-hotel kini terpaksa menggantungkan pendapatan mereka pada wisatawan asing sebagai sumber “penyelamat” finansial. Di sisi lain, aparat kepolisian dan imigrasi kembali menegaskan konsekuensi hukum yang berat, termasuk pidana, bagi pengelola penginapan yang lalai melaporkan data tamu asing.
Kondisi inilah yang menjadi fokus utama dalam diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion/FGD) Pemantauan dan Pendataan Orang Asing, NGO, dan Lembaga Asing yang diselenggarakan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Kabupaten Sleman di The Bean Garden, Selasa, 28 Oktober 2025.
Kepala Bidang Penanganan Konflik dan Kewaspadaan Nasional Bakesbangpol Sleman, Bagus Jalu Anggara, secara terbuka mengakui dampak keras kebijakan fiskal tersebut.
“Efisiensi anggaran 2026 berdampak pada sektor perhotelan karena pemerintah mengurangi pengeluaran untuk perjalanan dinas dan kegiatan rutin. Ini menyebabkan penurunan pemesanan dan okupansi yang sudah terlihat sejak paruh pertama 2025,” ujar Bagus.
Ia menambahkan, penurunan kegiatan pemerintah di hotel, bahkan pengalihan rapat ke kantor-kantor dinas, telah mengancam pendapatan hingga memaksa sejumlah hotel merumahkan karyawan karena biaya operasional yang tidak tertutupi.
Turis Asing Jadi Tumpuan, Pengawasan Diperketat
Di tengah tekanan tersebut, wisatawan asing yang datang melalui paket wisata agen perjalanan menjadi andalan utama bagi para hotelier di Sleman. Situasi ini menuntut sinergi erat antara pemerintah daerah, hotel (PHRI), agen perjalanan (ASITA), serta aparat penegak hukum seperti Imigrasi dan Kepolisian.
Sefta Adrianus Tarigan, Kepala Seksi Intelijen dan Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi Kelas I TPI Yogyakarta, menegaskan bahwa penggunaan Aplikasi Pelaporan Orang Asing (APOA) oleh pengelola hotel bukan sekadar himbauan, melainkan merupakan kewajiban hukum yang harus dipatuhi.
"Setiap orang atau korporasi yang menampung orang asing wajib memberikan data mengenai orang asing yang ditampungnya. Jika tidak, Pasal 117 Undang-Undang Nomor 63 Tahun 2024 tegas menyebut sanksi pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp 25 juta," kata Sefta.
Hingga 27 Oktober 2025, Kantor Imigrasi mencatat baru 78 akun APOA yang terdaftar di Sleman. Dari jumlah tersebut, 75 akun berasal dari hotel atau penginapan, sementara 3 akun lainnya tercatat atas nama perorangan.
Polri Ungkap Kasus WNA dan Potensi Ancaman
Sejalan dengan Imigrasi, Iptu Kuswantoro, Kanit 4 Sat Intel Polresta Sleman, menjelaskan dasar hukum pengawasan fungsional Polri terhadap orang asing, yaitu Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2025.
Ia menegaskan, pengawasan ini bertujuan mencegah keterlibatan orang asing dalam berbagai kegiatan berisiko, mulai dari spionase, sabotase, propaganda politik, hingga radikalisme dan tindak pidana yang melanggar norma sosial maupun kearifan lokal.
Data dari Polresta Sleman menegaskan pentingnya pengawasan terhadap orang asing. Sepanjang 2025, tercatat sejumlah insiden yang melibatkan WNA, mulai dari kasus meninggal dunia, dugaan pencurian, hingga kecelakaan lalu lintas. Para WNA yang terlibat berasal dari berbagai negara, seperti Korea Selatan, Irak, dan China.
Menutup diskusi, Bagus Jalu Anggara berharap forum ini bisa menjadi wadah bagi PHRI dan ASITA untuk berbagi kendala di lapangan. Dengan begitu, sinergi antar pihak dapat menghasilkan solusi terbaik, sehingga pelayanan dan penegakan regulasi terhadap orang asing bisa dilakukan secara efektif, efisien, dan menyeluruh. (*)
