Tercabiknya Demokrasi Kita

4 September 2025 20:21 4 Sep 2025 20:21

Thumbnail Tercabiknya Demokrasi Kita
Oleh: Ali Mursyid Azisi*

Demokrasi di Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan, antara janji idealisme dan realitas yang membingungkan. Jargon "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat" seolah menjadi mantra kosong di tengah gonjang-ganjing politik yang kian memanas. 

Kekuasaan yang seharusnya menjadi alat untuk melayani, kini justru disalahgunakan, menciptakan jurang lebar antara elite dan masyarakat. Fenomena ini bukan lagi sekadar anomali, melainkan simptom dari patologi kronis yang menggerogoti sendi-sendi kebangsaan kita.

Gonjang-ganjing Pseudo-Demokrasi

Seorang filsuf Yunani Aristoteles pernah memperingatkan tentang bahaya oligarki, kekuasaan yang dipegang oleh segelintir elite untuk kepentingan pribadi. Meskipun kita menyebut sistem ini sebagai demokrasi, realitasnya tak jauh berbeda dengan peringatan Aristoteles. 

Para elite politik dan pemilik modal bersatu, membentuk korporatokrasi yang mengendalikan alur kebijakan. Mereka memanipulasi regulasi, mengkooptasi lembaga negara, dan membungkam suara-suara kritis, semua demi akumulasi kekayaan dan kekuasaan.

Di tengah situasi ini, kita menyaksikan fenomena pseudo-demokrasi, sebuah istilah yang menggambarkan sistem yang secara lahiriah tampak demokratis, namun esensinya hampa. C.B. Macpherson, dalam karyanya The Real World of Democracy, berpendapat bahwa demokrasi yang sehat membutuhkan lebih dari sekadar prosedur pemilu.

Ia harus didasarkan pada partisipasi aktif dan kesejahteraan sosial bagi seluruh warga negara. Ketika partisipasi publik dibungkam, dan kesejahteraan hanya dinikmati oleh segelintir orang, demokrasi berubah menjadi fasad kosong.

Fenomena ini di Indonesia menjadi realitas yang tak terelakkan. Suara-suara masyarakat yang kritis dibungkam, demonstrasi yang sah dibubarkan, dan aktivis diintimidasi. Kasus kenaikan gaji DPR di tengah kesulitan ekonomi, atau joget-joget riang para pejabat di tengah penderitaan rakyat, menunjukkan betapa empati politik telah luntur. Pemandangan ini tak hanya melukai akal sehat, tetapi juga mencabik-cabik rasa keadilan publik.

Kekuasaan Tanpa Tanggung Jawab

Tanggung jawab adalah pilar fundamental dalam demokrasi. Namun, apa yang terjadi ketika kekuasaan tidak diimbangi dengan akuntabilitas? Kita melihatnya dalam kasus-kasus korupsi yang tak kunjung tuntas, atau dalam pernyataan-pernyataan tolol anggota DPR yang menantang demonstran, seperti yang dilakukan oleh Sahroni. Pernyataan tersebut bukan hanya cerminan arogansi, tetapi juga menunjukkan kegagalan memahami fungsi mereka sebagai wakil rakyat.

Ketimpangan ini diperparah oleh kesewenang-wenangan aparat penegak hukum. Aparat yang seharusnya melindungi rakyat, justru menjadi alat represi. Kasus penganiayaan demonstran hingga jatuhnya korban jiwa, seperti kasus pengemudi ojek online yang dilindas mobil rantis, adalah bukti nyata dari brutalitas kekuasaan.

Ini adalah tragedi yang tidak hanya menyentuh aspek hukum, tetapi juga merusak tatanan moral bangsa. John Stuart Mill, seorang filsuf sekaligus ekonom politik, menekankan pentingnya perlindungan terhadap minoritas dan kebebasan berekspresi. Ketika hak-hak ini diinjak-injak, demokrasi kita hanya tinggal nama.

Keadilan dalam Timbangan Islam

Dalam pandangan Islam, kekuasaan adalah amanah. "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." Korupsi, yang dalam bahasa Arab disebut ghulul (pengkhianatan terhadap amanah publik), adalah dosa besar. 

Koruptor bukan hanya merugikan negara, tetapi juga mengkhianati kepercayaan Tuhan dan masyarakat. Hukuman bagi perusak negara dalam Islam sangatlah berat, karena perbuatan mereka merusak stabilitas sosial dan ekonomi umat.

Islam juga menegaskan pentingnya keadilan, baik terhadap diri sendiri, keluarga, hingga pada masyarakat secara umum. Ini adalah mandat ilahiah untuk menegakkan kebenaran, bahkan jika itu harus berhadapan dengan orang-orang terdekat atau penguasa. Kekerasan terhadap demonstran atau rakyat sipil jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip ini.

Aspek krusial lainnya adalah konsep maslahatul ummah (kemaslahatan umum). Dalam fikih, prinsip ini menjadi salah satu tujuan utama syariat (maqashid al-syari'ah). Para ulama fiqih, menegaskan bahwa tujuan syariat adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kemudaratan (jalb al-mashalih wa dar'u al-mafasid).

Demokrasi Konstruktif: Bukan Destruktif

Demonstrasi adalah hak konstitusional untuk menyampaikan aspirasi. Namun, demokrasi yang matang tidak hanya menuntut hak, tetapi juga memahami tanggung jawab. Demonstrasi yang konstruktif adalah yang mengedepankan dialog, bukan vandalisme atau anarkisme. 

Merusak fasilitas umum atau membakar gedung bukanlah bentuk perjuangan, melainkan tindakan yang kontra-produktif. Aksi-aksi ini justru memberikan celah bagi penguasa untuk menstigma gerakan rakyat, dan pada akhirnya, melemahkan legitimasi perjuangan itu sendiri.

Membangun demokrasi yang benar-benar demokratis memerlukan komitmen kolektif. Ia harus dimulai dari setiap individu: menuntut pertanggungjawaban dari para pemimpin, menolak suap dan korupsi, serta berpartisipasi aktif dalam proses politik.

Demokrasi yang sehat adalah yang dibangun di atas integritas, transparansi, dan keadilan. Ini adalah sebuah upaya abadi, yang membutuhkan kegigihan dan kesadaran kolektif agar Indonesia tidak hanya menjadi negara yang demokratis secara prosedural, tetapi juga secara substansial.

*) Ali Mursyid Azisi, M.Ag merupakan Founder The Indonesian Foresight Research Institute (IFRI) & Pengamat Sosial-Politik

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Demokrasi Ali Mursyid Azisi