KETIK, SURABAYA – Setahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dinilai mulai menunjukkan langkah awal menuju kemandirian energi nasional. Namun, sejumlah pakar menilai upaya ini masih menghadapi tantangan besar, terutama dalam hal transisi dari energi fosil menuju energi baru terbarukan (EBT) serta efektivitas kebijakan subsidi energi.
Koordinator Proyek Renewable Energy Integration Demonstrator Indonesia (REIDI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Ir. Ary Bachtiar Krishna Putra, MT, Ph.D., IPM, menilai bahwa meskipun kemajuan belum signifikan, pemerintah telah menunjukkan arah kebijakan yang positif. Salah satunya melalui penguatan sektor bioenergi, seperti program biodiesel B40.
“Langkah pemerintah untuk meningkatkan kadar biofuel hingga B40 itu penting. Selain memperkuat kemandirian energi, juga mendorong circular economy, di mana masyarakat bisa memproduksi bahan baku biodiesel secara mandiri,” ujar Ary Bachtiar saat acara diskusi bertema “Meneropong 1 Tahun Kemandirian Energi Nasional di Era Prabowo - Gibran dari Timur Jawa”, di Viaduk Gubeng Surabaya, Rabu, 15 Oktober 2025.
Namun, Ary menekankan adanya tantangan teknis dan kebijakan yang perlu diatasi. Salah satunya adalah penerapan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang dinilai masih tarik ulur. Menurutnya, dalam sektor energi, TKDN penting untuk memperkuat industri nasional, tetapi terlalu ketatnya aturan dapat menghambat investasi asing, terutama pada teknologi tinggi seperti hydrogen fuel cell atau kendaraan listrik.
“EBT seperti PLTSA (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) di Benowo masih banyak menggunakan produk asing karena industri dalam negeri belum mampu memproduksi peralatan skala besar. Maka, pemerintah perlu menggandeng lembaga penelitian dan perguruan tinggi agar bisa melakukan reverse engineering terhadap teknologi luar negeri,” jelasnya.
Ary juga menegaskan pentingnya peran perguruan tinggi dalam mendukung kemandirian energi melalui inovasi dan riset terapan. Menurutnya, Indonesia memiliki banyak insinyur berkompeten yang mampu berkontribusi jika diberikan kepercayaan dan dukungan.
“Potensi EBT kita luar biasa, dari sampah, biomassa, tenaga surya, hingga gelombang laut. Semua ada di dalam negeri. Tinggal bagaimana pemerintah bisa mempercepat penguasaan teknologinya,” katanya.
Sementara itu, Pakar kebijakan publik Universitas Airlangga (Unair) Prof. Dr. Falih Suaedi, menilai kinerja sektor EBT masih jauh dari target. Menurutnya, kontribusi EBT terhadap bauran energi nasional masih rendah.
“Kita baru mencapai sekitar 16 persen, padahal targetnya sudah direvisi menjadi 19 persen. Ini menyedihkan. Pemerintah harus berani melakukan diversifikasi EBT secara nyata,” tegas Falih.
Ia menyoroti kebijakan pemerintah terkait pencabutan izin tambang yang tidak memenuhi kewajiban reklamasi sebagai langkah positif. Namun, ia menilai pemerintah harus lebih transparan dan serius mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil, terutama batu bara.
“Sudah waktunya pemerintah menunjukkan keberpihakan pada energi bersih. Dampak lingkungan dari tambang batubara sangat besar, dan ujungnya selalu masyarakat kecil yang menanggung,” imbuhnya.
Dari sisi ekonomi, Ekonom Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Dr Hendry Cahyono, S.E., M.E menilai kemandirian energi tidak hanya soal produksi, tetapi juga tata kelola kebijakan yang berkeadilan. Ia menyoroti tingginya beban subsidi energi dalam APBN yang mencapai sekitar 4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
“Masalahnya, subsidi energi ini justru lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat kaya. Berdasarkan riset kami, 20 persen masyarakat terkaya menikmati subsidi 11 kali lebih besar dibanding masyarakat miskin,” ungkap Hendry.
Menurutnya, pemerintahan Prabowo–Gibran perlu segera merancang kebijakan pengganti subsidi energi yang lebih tepat sasaran. Misalnya dengan mengalihkan dana subsidi ke sektor kesehatan atau pendidikan yang manfaatnya lebih langsung dirasakan masyarakat kecil.
“EBT seharusnya bisa menjadi solusi karena sumbernya berkelanjutan dan berpotensi menurunkan harga energi jangka panjang. Tapi kebijakannya harus konsisten dan tidak hanya bersifat populis,” tegasnya.
Hendry menambahkan, kemandirian energi harus dikaitkan dengan sustainability economy atau ekonomi berkelanjutan. Artinya, kebijakan energi harus mendukung pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan aspek sosial dan lingkungan.
"Secara umum, para pakar dari Jawa Timur ini menilai tahun pertama pemerintahan Prabowo–Gibran sudah mengarah pada jalur yang tepat, namun masih memerlukan terobosan kebijakan dan percepatan di lapangan," jelasnya.
Kemandirian energi, kata mereka, bukan hanya soal produksi EBT, tetapi juga sinergi antara pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat untuk membangun sistem energi yang adil, efisien, dan berkelanjutan bagi generasi mendatang. "Ini demi anak cucu kita kedepannya," pungkas Prof Falih. (*)