Sentuhan Manusia di Era Rekrutmen Digital

5 Agustus 2025 07:00 5 Agt 2025 07:00

Thumbnail Sentuhan Manusia di Era Rekrutmen Digital
Oleh: Ahmad Afskar*

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia rekrutmen mengalami perubahan besar. Teknologi kini menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam proses seleksi calon karyawan. Perusahaan-perusahaan, baik skala besar maupun startup, mengandalkan sistem digital seperti Applicant Tracking System (ATS), kecerdasan buatan (AI), hingga wawancara otomatis berbasis video.

Tujuannya jelas, efisiensi. Proses yang dulu memakan waktu berhari-hari kini dapat dilakukan dalam hitungan jam. Namun, di tengah kemajuan ini, ada satu hal yang perlahan memudar: sentuhan manusia.

Sebagai seorang recruiter yang terlibat langsung dalam proses seleksi, saya tentu merasakan manfaat dari kemajuan teknologi. Sistem digital membantu menyaring ratusan CV, menandai kata kunci, dan memberi peringkat kandidat berdasarkan kriteria teknis tertentu. Ini jelas mempercepat proses kerja.

Namun, saya juga menyadari bahwa tidak semua hal bisa diukur dengan data dan algoritma. Di balik setiap lamaran kerja, ada individu dengan cerita hidup, latar belakang unik, dan motivasi yang tidak selalu bisa ditangkap oleh mesin.

Teknologi memang dapat membantu menemukan kandidat yang “tepat” secara kualifikasi, tetapi hanya manusia yang bisa menilai apakah seseorang itu benar-benar “cocok.” Cocok dalam artian sesuai dengan nilai, budaya kerja, dan dinamika tim.

Ada kalanya kandidat tidak memenuhi semua syarat di atas kertas, tetapi menunjukkan semangat belajar, kejujuran, dan komitmen tinggi saat sesi wawancara. Sayangnya, jika hanya mengandalkan mesin, peluang untuk menemukan potensi tersembunyi seperti ini bisa terlewatkan.

Saya pernah menemui kasus di mana seorang kandidat tidak lolos tahap awal karena sistem ATS tidak membaca kata kunci yang sesuai dalam CV-nya. Namun ketika saya memberi kesempatan untuk bertemu langsung, saya justru menemukan seorang yang sangat potensial, memiliki pengalaman relevan, dan semangat kerja yang luar biasa. Hal ini menunjukkan bahwa sistem yang terlalu kaku bisa menyingkirkan kandidat berkualitas hanya karena teknis penulisan.

Selain itu, pendekatan digital yang terlalu kering juga berdampak pada pengalaman kandidat. Banyak pelamar yang merasa kecewa karena proses rekrutmen berlangsung tanpa komunikasi yang jelas, tanpa umpan balik, dan kadang terasa tidak manusiawi. Mereka menjadi sekadar angka dalam sistem. Padahal, setiap proses seleksi adalah juga bentuk representasi nilai perusahaan. Jika pelamar merasa dihargai, didengarkan, dan diperlakukan dengan empati, maka citra perusahaan pun ikut terangkat.

Tantangan lain dari rekrutmen digital adalah meningkatnya ketergantungan pada hasil kuantitatif akan skor psikotes online, penilaian otomatis dari video interview, hingga ranking dari sistem ATS sering kali dijadikan satu-satunya tolok ukur. Padahal, kualitas seseorang tidak bisa sepenuhnya diwakili oleh angka. Rekruter perlu tetap terlibat secara aktif, membaca konteks, menilai keaslian, dan melakukan verifikasi yang lebih mendalam.

Untuk menjawab tantangan ini, solusi yang dapat diterapkan bukanlah menolak teknologi, melainkan menggunakannya secara bijak dan seimbang. Proses digital dapat digunakan untuk menyaring awal, tetapi keputusan akhir tetap harus melibatkan analisis manusia.

Sentuhan manusia diperlukan untuk memahami motivasi, nilai, dan potensi jangka panjang seorang kandidat. Di sinilah peran recruiter menjadi semakin penting—bukan sebagai admin yang hanya memproses data, tetapi sebagai jembatan antara kebutuhan organisasi dan karakter manusia.

Selain itu, perusahaan perlu membangun proses rekrutmen yang lebih empatik. Memberikan informasi yang transparan, menyampaikan tahapan dengan jelas, menjadwalkan wawancara dengan fleksibel, hingga memberikan umpan balik yang konstruktif. Hal-hal ini sederhana, tetapi memberi kesan besar bagi pelamar. Mereka merasa dihargai sebagai individu, bukan sebagai objek yang dinilai semata.

Peran human touch dalam rekrutmen juga memiliki dampak strategis jangka panjang. Ketika perusahaan berhasil merekrut orang-orang yang benar-benar cocok, maka produktivitas dan loyalitas cenderung meningkat. Karyawan merasa mereka diterima sebagai manusia utuh, bukan hanya karena nilai IPK atau pengalaman kerja, tetapi karena mereka dipahami dan dipercaya. Inilah fondasi dari tim yang kuat dan budaya kerja yang sehat.

Ke depan, teknologi akan terus berkembang. Bahkan mungkin AI akan semakin canggih dalam membaca ekspresi wajah, suara, dan kepribadian kandidat. Namun, saya percaya bahwa intuisi, empati, dan pertimbangan moral manusia tidak akan pernah tergantikan. Dunia kerja yang ideal bukanlah yang sepenuhnya otomatis, tetapi yang mampu menggabungkan efisiensi teknologi dengan kehangatan interaksi manusia.

Sebagai recruiter, kita memegang peran penting dalam menjaga nilai-nilai tersebut. Kita tidak hanya mencari orang yang bisa mengisi posisi kosong, tetapi juga membantu orang menemukan tempat di mana mereka bisa tumbuh dan berkontribusi. Sentuhan manusia bukanlah kelemahan, tetapi kekuatan yang membuat proses rekrutmen menjadi lebih adil, bermakna, dan berdampak. 

*) Ahmad Afskar N. A merupakan Recruitment Officer PT Permata Indonesia Sejahtera

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini rekrutmen Ahmad Afskar