PMK 37 Tahun 2025: Pajak Penghasilan atas Transaksi E-Commerce

2 Agustus 2025 13:37 2 Agt 2025 13:37

Thumbnail PMK 37 Tahun 2025: Pajak Penghasilan atas Transaksi E-Commerce
Oleh: Lesti Anggraini*

Di Indonesia, perdagangan melalui sistem elektronik atau yang lebih dikenal dengan e-commerce semakin berkembang pesat. Transaksi e-commerce menjadi salah satu sumber penerimaan negara dalam aspek perpajakan. 

Untuk memfasilitasi masyarakat pelaku e-commerce dalam hal perpajakan, maka mulai tanggal 11 Juni 2025 ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 tentang Penunjukan Pihak Lain sebagai Pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh yang Dipungut oleh Pihak Lain atas Penghasilan Yang Diterima atau Diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan Mekanisme Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). 

Terdapat dua pihak yang diatur dalam PMK Nomor 37 Tahun 2025. Pertama, Pedagang Dalam Negeri (PDN) merupakan pelaku usaha (orang pribadi/badan) yang menerima penghasilan menggunakan rekening bank dan bertransaksi menggunakan alamat internet protokol di Indonesia atau menggunakan nomor telepon dengan kode telepon Negara Indonesia, termasuk perusahaan jasa pengiriman, perusahaan asuransi dan pihak penyedia barang dan/jasa yang transaksinya dilakukan melalui PMSE.

Kedua, Pihak Lain merupakan penyelenggara PMSE baik yang berkedudukan di dalam maupun diluar wilayah Indonesia, yang ditunjuk oleh Menteri sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas penghasilan yang diterima PDN dengan mekanisme PMSE. Pihak Lain ini dikenal dengan Marketplace diantaranya yang ada di Indonesia seperti Shopee, Tokopedia, Bukalapak, Blibli, dan lainnya.

PDN wajib menyampaikan informasi kepada Pihak Lain berupa NPWP/ NIK; alamat korespondensi; surat pernyataan memiliki omzet s.d 500 juta, bagi PDN orang pribadi yang memiliki omzet s.d 500 juta; Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan/Pemungutan, bagi PDN yang memiliki SKB, dan surat pernyataan memiliki omzet melebihi 500 juta, bagi PDN Orang Pribadi yang memiliki omzet melebihi 500 juta.

PDN juga wajib membuat dokumen tagihan atas nama PDN yang dihasilkan melalui sarana komunikasi elektronik yang disediakan oleh Pihak Lain. Dokumen tagihan tersebut paling sedikit memuat nomor tagihan, tanggal tagihan, nama Pihak Lain, nama akun PDN, nama dan alamat pembeli, jenis barang dan/atau jasa, harga jual, potongan harga dan nilai PPh Pasal 22 bagi PDN.

Dokumen tagihan tersebut merupakan dokumen yang dipersamakan dengan bukti pemungutan PPh Pasal 22 bagi PDN dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran PPh dalam tahun berjalan bagi PDN atau dapat menjadi bagian dari pelunasan PPh yang bersifat final bagi PDN yang dikenai PPh yang bersifat final. 

Apabila antara PPh Pasal 22 yang telah dipungut dan PPh Final yang seharusnya terutang terdapat selisih kurang, maka PDN wajib menyetorkan sendiri atas kekurangan pembayaran dan melaporkannya dalam SPT Unifikasi. Akan tetapi jika terdapat selisih lebih maka atas kelebihan pemungutan PPh Pasal 22 bisa diajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang. 

Pihak Lain wajib memungut PPh Pasal 22 dan menyetorkan maksimal tanggal 15 bulan berikutnya. serta melaporkan SPT Unifikasi maksimal tanggal 20 bulan berikutnya. Besarnya PPh Pasal 22 yang dipungut adalah 0.5% dari Peredaran Bruto yang diterima PDN yang tercantum dalam dokumen tagihan, tidak termasuk PPN dan PPnBM.

Terdapat pengecualian pemungutan PPh Pasal 22 oleh pihak lain yaitu atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PDN sehubungan dengan transaksi:

  • Penjualan oleh WP OP yang menyampaikan surat pernyataan memiliki omzet sampai dengan 500 juta;
  • Penjualan jasa pengiriman oleh WP OP dalam negeri sebagai mitra perusahaan aplikasi berbasis teknologi yang memberikan jasa angkutan (misal gojek/gocar);
  • Penjualan oleh PDN yang menyampaikan informasi SKB;
  • Penjualan pulsa dan kartu perdana;
  • Penjualan emas perhiasan sebagaimana telah diatur dalam PMK 48 Tahun 2023;
  • Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Pelaksanaan PMK 37 tahun 2025 ini diharapkan mampu memperluas basis pajak digital, meringankan beban UMKM, dan meningkatkan efisiensi administrasi.

Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja

*) Lesti Anggraini merupakan Pegawai Direktorat Jenderal Pajak, KPP Madya Sidoarjo

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini PMK 37 Tahun 2025 Lesti Anggraini