KETIK, SURABAYA – Kalau kalian melihat acara gender reveal yang biasanya diadakan oleh orang tua yang tengah menantikan kelahiran anaknya, mereka cenderung menggunakan warna pink apabila perempuan dan warna biru apabila laki-laki.
Sejak lama, warna pink dan biru dilekatkan pada identitas gender. Padahal sebenarnya warna dan jenis kelamin tidak ada kaitannya sama sekali.
Dari pakaian bayi hingga mainan anak, pink dipandang mewakili kelembutan dan feminitas, sementara biru diasosiasikan dengan kekuatan dan maskulinitas.
Pandangan masyarakatlah yang membentuk stereotip ini. Ironisnya, stereotip warna ini telah menciptakan double bind atau ikatan ganda yang membatasi potensi baik pria maupun wanita dalam masyarakat modern.
Namun tahukah kamu bahwa awalnya stereotip ini berawal dari pink itu laki-laki dan biru itu perempuan.
Sebelum abad ke-10, mayoritas orang tua di Amerika Serikat mendandani anak-anak kecil dengan warna putih karena dianggap mudah dicuci.
Pada tahun 1918, publikasi dagang di A.S menyatakan aturan yang umum diterima adalah pink untuk anak laki-laki karena dianggap kuat dan tegas dan biru untuk anak perempuan karena dianggap lebih halus dan anggun.
Kemudian terjadi perubahan pada generasi baby boomers (tahun 1940-an), di mana anak laki-laki dan perempuan mulai didandani seperti miniatur pria dan wanita.
Pada masa inilah biru beralih menjadi warna maskulin. Ketika merah muda (pink) ditetapkan sebagai warna feminin eksklusif untuk anak perempuan melalui kampanye iklan besar pada tahun 1950-an, biru secara otomatis ditetapkan sebagai warna kontras untuk melambangkan maskulinitas yang baru agar tercipta pembagian gender yang jelas dalam produk komersial.
Tren warna sempat menurun pada pertengahan 1960-an hingga 1970-an karena gerakan pembebasan wanita yang memilih warna dan mode netral.
Namun, pada tahun 1980-an, tren ini kembali menguat, didorong oleh kemampuan tes prenatal yang memungkinkan orang tua mengetahui dan menekankan jenis kelamin bayi mereka sebelum lahir, sehingga permintaan akan produk yang spesifik gender (biru atau pink) meningkat tajam.
Akibat dari stereotip biner ini, laki-laki sering diharapkan untuk selalu kuat dan rasional, sementara perempuan dihadapkan pada "Penalti Keibuan" (Motherhood Penalty) di tempat kerja. Padahal, kita berpotensi kehilangan banyak prestasi luar biasa jika terus membatasi individu dengan kerangka warna yang usang ini.
