Pesan Gus Amak & Ning Widad Tentang Jihad Digital dalam Majelis Subuh GenZI di Masjid Al-Akbar Surabaya

26 Oktober 2025 12:23 26 Okt 2025 12:23

Thumbnail Pesan Gus Amak & Ning Widad Tentang Jihad Digital dalam Majelis Subuh GenZI di Masjid Al-Akbar Surabaya
Potret Gus Amak dan Ning Widad Bariroh dalam acara Majelis Subuh GenZI (MSG) episode ke-23 yang bertajuk "Jihad GenZI di Era Digital", Minggu, 26 Oktober 2025. (Foto: Dok. Humas Masjid Al Akbar Surabaya)

KETIK, SURABAYA – Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya (MAS) menggelar acara Majelis Subuh GenZI (MSG) episode ke-23 yang bertajuk “Jihad GenZI di Era Digital” dengan menghadirkan Pengasuh Pondok Pesantren Bayt Al-Hikmah Pasuruan, Jawa Timur, H. Nailur Rochman atau Gus Amak bersama istrinya, Ning Hj Widad Bariroh, Minggu, 26 Oktober 2025.

Dalam kesempatan itu, Gus Amak menyampaikan bahwa jihad di era digital berarti kemampuan mengendalikan diri, khususnya dengan menahan jari atau jempol untuk tidak berkomentar apabila tidak memiliki pengetahuan atau pengalaman yang memadai.

"Hal itu memang tidak mudah, namun Nabi mengajarkan bahwa penghuni surga adalah orang-orang yang bertakwa (muttaqin). Salah satu ciri ketakwaan tersebut adalah kemampuan menahan amarah dan mengendalikan nafsu," jelas Gus Amak.

"Dalam konteks masa kini, hal itu dapat diartikan sebagai kemampuan menahan diri untuk tidak sembarangan menggunakan jari atau jempol saat berkomentar di dunia digital," imbuhnya.

Gus Amak menjelaskan bahwa jihad dalam bentuk fisik mungkin terasa lebih mudah dilakukan, namun tantangan sesungguhnya kini justru muncul di ranah dunia maya.

Ia menegaskan bahwa dalam melakukan jihad di ruang digital, seseorang perlu memahami bahwa dunia maya merupakan ruang publik yang sangat beragam.

"Dalam melakukan jihad di dunia maya, kita perlu memahami bahwa ruang digital merupakan ruang publik yang dihuni oleh beragam kalangan. Berbeda dengan situasi saat berbincang santai bersama teman sebaya di warung kopi, di dunia maya kita berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai latar belakang ada yang berpendidikan maupun tidak, ada yang berkarakter baik maupun sebaliknya," ujar gus milenial tersebut.

"Jadi, kita harus memperhatikan atau memahami orang lain, jangan seperti sekarang yang ibarat 'matinya kepakaran', atau bicara itu sesuai dengan kepakaran, jangan tidak tahu apa-apa, tapi sok paling pakar, padahal semuanya dipertanggungjawabkan," tambahnya.

Bagi Gus Amak, jihad di era digital sejatinya adalah perjuangan melawan diri sendiri serta melawan fenomena matinya kepakaran. Ia menekankan agar masyarakat tidak berbicara hanya berdasarkan informasi yang tidak jelas sumbernya atau sekadar katanya.

Gus Amak meminta agar jangan mudah menuduh sesuatu tanpa memahami konteksnya, apalagi berbicara seolah paling tahu tentang hal-hal yang sebenarnya di luar bidangnya.

Misalnya, seseorang yang bukan santri atau bahkan belum pernah bersilaturahmi ke pesantren, namun merasa paling mengerti soal dunia pesantren hanya karena menonton potongan video satu menit dari tayangan berdurasi satu jam.

"Ruang publik di dunia maya ibarat tempat orang mengekspresikan rasa dan selera, sehingga kita perlu mampu mengendalikan diri dengan berpikir kritis atau melakukan antitesis," jelas Gus Amak.

"Kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah komentar yang akan kita berikan benar-benar membawa kebaikan, atau justru hanya demi mencari popularitas dan sensasi? Sayyidina Ali pun pernah menahan diri dari peperangan setelah diludahi oleh lawannya, karena ia tidak ingin berjuang atas dasar emosi pribadi, melainkan semata-mata karena Allah," katanya.

Sementara itu, Ning Widad Bariroh mengungkapkan hasil survei tahun 2024 yang menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-9 di Asia Pasifik sebagai negara dengan pengguna media sosial terbanyak.

Namun, ironisnya, dalam hal etika atau adab bermedia sosial, Indonesia justru berada di posisi ketiga dari bawah. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun masyarakat Indonesia sangat aktif di dunia maya, banyak yang masih bersikap tidak beradab karena merasa berada di ruang anonim, padahal media sosial tetap merupakan ruang publik.

"Peradaban sejati terletak pada adab, bukan pada kemampuan berbicara tanpa kendali. Jika seseorang berinteraksi di dunia digital tanpa menggunakan hati nurani, itu sama saja seperti orang yang sedang diliputi amarah atau sakit hati," jelas Ning Widad.

"Semakin maju perkembangan teknologi atau semakin tinggi tingkat hi-tech kehidupan manusia, seharusnya adab juga ikut meningkat. Jangan merasa aman hanya karena berada di rumah, sebab di dunia digital, setiap komentar bisa tersebar ke mana saja," sambungnya.

Ning Widad juga menekankan orang muslih atau saleh itu untuk bicara di dunia digital juga harus alim. Tidak hanya mengikuti apa yang viral saja, karena itu belum tentu benar.

Dalam kesempatan itu, Gus Amak dan Ning Widad menyampaikan apresiasi terhadap penyelenggaraan Majelis Subuh GenZI. Ning Widad mengatakan bahwa kegiatan seperti ini penting tidak hanya bagi generasi muda, tetapi juga bagi para orang tua agar memahami dunia anak-anak mereka.(*)

Tombol Google News

Tags:

Gus Amak Ning Widad Bariroh Masjid Agung Surabaya Majelis Subuh Genzi Jihad Digital