KETIK, YOGYAKARTA – Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo secara kontroversial menerbitkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 yang mengatur penugasan anggota Polri di luar struktur organisasi kepolisian.
Alih-alih mendengar sorotan dan kritik dari berbagai kalangan, pemerintah saat ini justru ancang-ancang membuat Peraturan Pemerintah (PP) yang mengaturnya.
Sejumlah kalangan menilai, regulasi tersebut dinilai berpotensi mengganggu tata kelola pemerintahan sipil serta melemahkan prinsip meritokrasi dalam sistem Aparatur Sipil Negara (ASN).
Kebijakan itu juga dianggap bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang menegaskan bahwa anggota Polri aktif wajib mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian apabila menduduki jabatan di luar institusi Polri.
Dosen Manajemen Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus pakar Analisis Kebijakan Publik, Dr. Subarsono, M.Si., M.A., menilai penempatan polisi aktif dalam jabatan sipil berisiko memundurkan praktik tata kelola pemerintahan yang baik dan berpotensi mengganggu prinsip demokrasi.
Menurutnya, kebijakan tersebut mengabaikan fungsi utama kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, yakni menjaga keamanan serta memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat. Fenomena ini, kata dia, tidak dapat dilepaskan dari penyimpangan terhadap mandat pokok institusi kepolisian.
“Saya melihat secara rasional fenomena ini sebagai perebutan sumber daya ekonomi yang bisa mensejahterakan anggotanya dan kemunduran dalam praktik tata kelola pemerintahan yang baik,” jelasnya seperti dikutip dari siaran pers UGM, Rabu, 24 Desember 2025.
Subarsono menambahkan, keterlibatan polisi aktif dalam berbagai jabatan sipil berisiko melahirkan praktik otoritarianisme serta mengganggu mekanisme birokrasi yang selama ini dibangun secara partisipatif dan dialogis. Ia menyoroti adanya perbedaan karakter organisasi antara kepolisian dan birokrasi sipil.
“Polisi adalah aparat yang memegang prinsip satu komando, sementara budaya organisasi sipil bertumpu pada dialog dan ruang perbedaan pendapat sebelum kebijakan diambil,” paparnya.
Ia juga mengingatkan bahwa kondisi tersebut berpotensi melemahkan supremasi sipil, yang merupakan salah satu pilar utama negara demokratis. Jika Putusan MK tidak dijalankan secara substantif, Subarsono menilai akan terjadi kemunduran serius dalam tata kelola pemerintahan.
Dalam sistem demokrasi, menurutnya, institusi sipil semestinya dipimpin oleh warga sipil. Keterlibatan polisi aktif justru dapat melemahkan kontrol sipil terhadap aparatur negara yang berasal dari kepolisian dan berimplikasi pada kemunduran semangat reformasi.
“Kembalinya polisi aktif ke jabatan sipil bisa dianggap sebagai langkah mundur dari reformasi pasca 1998 dan berpotensi melemahkan kontrol sipil atas aparatur negara,” ujarnya.
Lebih jauh, Subarsono menekankan bahwa pengabaian Putusan MK dapat menimbulkan risiko jangka panjang terhadap legitimasi kebijakan publik dan stabilitas pemerintahan. Pejabat sipil yang kehilangan legitimasi sosial, kata dia, akan menghadapi hambatan dalam menjalankan kebijakan akibat munculnya resistensi sosial dan minimnya dukungan politik.
Ia juga menyoroti polemik penempatan anggota Polri aktif di sedikitnya 17 institusi sipil yang dinilai memperpanjang kegaduhan politik di tengah masyarakat. Selain itu, kondisi tersebut berpotensi mengurangi ruang karier ASN dan merugikan pengembangan profesional mereka dalam jangka panjang.
“Fenomena ini berpotensi mengurangi jabatan yang bisa dipegang ASN dan merugikan karir mereka dalam jangka panjang,” ujarnya.
Sebagai solusi kebijakan, Subarsono menekankan perlunya langkah pemerintah untuk mengembalikan prinsip meritokrasi dan profesionalisme birokrasi melalui pendekatan kebijakan lunak (soft policy), tanpa memicu konflik politik terbuka.
Ia menyebut setidaknya ada dua langkah strategis yang dapat ditempuh Presiden. Pertama, meminta Kapolri mencabut Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 yang dinilai tidak sejalan dengan Putusan MK. Langkah tersebut penting untuk memastikan konsistensi kebijakan eksekutif dengan konstitusi.
Kedua, Presiden dapat menggunakan kewenangannya sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden yang secara tegas mencabut Perpol tersebut.
“Kedua langkah ini menjadi langkah tegas pemerintah dalam menjaga profesionalisme birokrasi dan membatasi perluasan peran aparat keamanan di ranah sipil,” tutup Subarsono.
