KETIK, PEMALANG – Publik dikejutkan dengan beredarnya Surat Pernyataan Kesepakatan Bersama yang diduga digunakan untuk menyelesaikan kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur di wilayah Kecamatan Randudongkal, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah.
Dalam dokumen tersebut, pelapor disebut bersedia mencabut laporan polisi dengan imbalan uang kompensasi sebesar Rp100 juta, yang dijanjikan akan dibayarkan paling lambat 31 Desember 2025. Kesepakatan itu ditandatangani dan disaksikan sejumlah pihak, termasuk aparat desa.
Korban dalam perkara ini merupakan anak perempuan berusia 14 tahun, yang secara hukum termasuk kategori anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.
Munculnya dokumen tersebut langsung menuai kecaman luas dari masyarakat, praktisi hukum, dan pemerhati perlindungan anak. Pasalnya, tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak merupakan delik khusus yang tidak dapat diselesaikan melalui perdamaian, apalagi dengan mekanisme kompensasi uang.
Praktisi Hukum: Berpotensi Kejahatan Baru
Praktisi hukum dan advokat, Imam Subiyanto, menegaskan bahwa kesepakatan tersebut tidak hanya cacat hukum, tetapi berpotensi menimbulkan tindak pidana baru.
“Surat kesepakatan ini bukan hanya cacat hukum, tetapi berpotensi merupakan kejahatan baru yang menghalangi proses peradilan pidana,” tegas Imam.
Ia menjelaskan, pencabutan laporan polisi tidak menghapus tindak pidana, karena kasus pelecehan seksual terhadap anak bukan delik aduan biasa, melainkan wajib diproses oleh negara.
Bertentangan dengan UU Perlindungan Anak
Menurutnya, penyelesaian damai tersebut bertentangan langsung dengan Pasal 76D dan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang mengatur ancaman pidana penjara belasan tahun bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
“Anak bukan objek transaksi. Kesepakatan uang justru memperparah penderitaan korban,” ujarnya.
Dugaan Obstruction of Justice
Imam juga menilai kesepakatan yang secara eksplisit memuat klausul pencabutan laporan polisi dapat dikualifikasikan sebagai obstruction of justice atau upaya menghalangi proses hukum.
“Ini berpotensi menyeret semua pihak yang terlibat, termasuk pihak yang memfasilitasi atau mengesahkan, ke dalam jerat pidana baru,” katanya.
Aparat Desa Dinilai Tidak Berwenang
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa balai desa bukan forum peradilan pidana, dan aparat desa tidak memiliki kewenangan hukum untuk memediasi atau mengesahkan perdamaian dalam perkara pidana berat.
“Jika aparat desa mengetahui dan membiarkan, maka patut diperiksa secara etik dan hukum,” tambahnya.
Ia menegaskan, konsep restorative justice tidak dapat diterapkan pada Kejahatan seksual, Korban anak, dan Tindak pidana dengan ancaman hukuman berat
“Mengatasnamakan restorative justice dalam kasus ini adalah penyimpangan serius dan penyesatan hukum,” tegasnya.
Desakan Publik
Masyarakat kini mendesak Polres Pemalang, Kejaksaan, dan aparat penegak hukum lainnya untuk tetap melanjutkan proses hukum serta memeriksa seluruh pihak yang terlibat dalam pembuatan dan pengesahan surat kesepakatan tersebut.
Praktisi hukum menegaskan, surat tersebut tidak mengikat hukum pidana, dan negara tidak boleh kalah oleh transaksi uang.
“Hukum tidak boleh tunduk pada uang, dan anak tidak boleh dikorbankan dua kali: pertama oleh pelaku, kedua oleh sistem yang gagal melindunginya,” pungkas Imam. (*)
