KETIK, PALEMBANG – Nama RA Anita Noeringhati, mantan Ketua DPRD Provinsi Sumatera Selatan, mencuat dalam persidangan kasus dugaan korupsi gratifikasi dan penyuapan yang melibatkan proyek pembangunan kantor lurah, pengecoran jalan, dan pembuatan drainase di Kelurahan Keramat Raya, Talang Kelapa, Banyuasin.
Persidangan dengan agenda pemeriksaan saksi ini digelar di Pengadilan Negeri (PN) Palembang, Rabu 25 Juni 2025.
Ketiga terdakwa dalam kasus ini adalah Ari Martha Redo (Mantan Kepala Bagian Humas dan Protokol Sekretariat DPRD Provinsi Sumatera Selatan), Apriansyah (Mantan Kepala Dinas PUPR Kabupaten Banyuasin nonaktif), dan Wisnu Andrio Fatra (Wakil Direktur CV. HK).
Dalam persidangan yang dipimpin oleh majelis hakim Fauzi lsra, salah satu saksi kunci, Erwan Hadi, seorang karyawan bank, mengungkapkan fakta yang mencengangkan.
Erwan mengaku sempat mendapat permintaan mendesak dari terdakwa Ari Martha Redo, yang masih memiliki hubungan keluarga dengannya, untuk mengecek kondisi rekening pribadi Ari.
"Pada tahun 2024, terdakwa Ari Martha Redo sempat menghubungi saya dalam keadaan tergesa-gesa dan meminta saya untuk mengecek rekening pribadinya," ungkap Erwan di hadapan majelis hakim.
Erwan menjelaskan bahwa ia tidak bisa sembarangan melakukan pengecekan rekening nasabah. Lebih lanjut, Erwan mengaku sempat menanyakan perihal penarikan dana sebesar Rp 400 juta yang disebut-sebut terkait dengan proyek Pokok Pikiran (Pokir) DPRD Sumsel.
Yang menarik, Erwan menyebutkan bahwa terdakwa Ari Martha Redo menjawab bahwa uang tersebut "Untuk lbu".
"Saya sempat bertanya kepada terdakwa, uang tersebut untuk siapa, lalu terdakwa Ari Martha Redo menjawab untuk ibu," kata Erwan.
Erwan berasumsi bahwa yang dimaksud "ibu" oleh terdakwa adalah atasannya saat itu, Anita Noeringhati, yang menjabat sebagai Ketua DPRD Sumsel. Keterangan saksi Erwan Hadi ini dibantah keras oleh terdakwa Ari Martha Redo.
Ari membantah pernyataan saksi dan menyebutkan bahwa saksi kemungkinan salah dengar karena kondisi sekitar saat itu berisik.
"Silakan tanya langsung kepada yang bersangkutan (Erwan), saya tidak pernah menyebutkan itu," ujar terdakwa.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Banyuasin dalam amar dakwaannya menyatakan bahwa perbuatan para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan dugaan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.
Tindakan ini bertujuan memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi, yang menyebabkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp 688 juta lebih.
Kerugian keuangan negara ini berdasarkan Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara atas Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi oleh Auditor dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Sumatera Selatan Nomor: PE.04.03/SR-115/ PWO7/5/2025 tanggal 25 April 2025.
Atas perbuatan para terdakwa, JPU menjerat mereka dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke -1 KUHPidana.
Persidangan akan terus berlanjut untuk membuktikan kebenaran di balik kesaksian ini dan mengungkap tuntas siapa saja yang terlibat dalam dugaan korupsi proyek dana Pokir di Banyuasin.(*)