Konsep musuh bersama merupakan strategi politik yang kerap digunakan penguasa untuk menjaga legitimasi dan mengalihkan perhatian publik dari krisis internal, khususnya di bidang ekonomi.
Melalui konstruksi simbolik mengenai ancaman eksternal maupun internal, negara berupaya membangun kohesi sosial yang semu.
Artikel ini menelaah praktik penciptaan musuh bersama dalam sejarah kepresidenan Indonesia dari era Presiden pertama hingga Presiden kedelapan, dengan menyoroti dampaknya terhadap konsolidasi kekuasaan dan legitimasi politik.
Dalam ilmu politik, fenomena musuh bersama dapat dipahami melalui perspektif political scapegoating dan rally around the flag effect, yakni kondisi ketika pemerintah memanfaatkan figur atau kelompok tertentu sebagai ancaman bersama guna mengonsolidasikan dukungan rakyat.
Pemikiran Carl Schmitt tentang politik sebagai pembedaan antara kawan dan lawan (friend-enemy distinction) memberikan kerangka penting untuk memahami praktik ini.
Schmitt menyatakan “the specific political distinction to which political actions and motives can be reduced is that between friend and enemy”. Dalam konteks Indonesia, konstruksi musuh bersama berfungsi sebagai mekanisme diferensiasi, di mana keberadaan “lawan” dijadikan syarat bagi penguatan identitas nasional.
Selain itu, teori René Girard tentang scapegoating mechanism juga relevan. Girard menegaskan “the scapegoat is a substitute, an innocent victim that serves to deflect violence and bring peace”. Dengan kata lain, kelompok tertentu dijadikan kambing hitam untuk menyalurkan ketegangan sosial yang muncul dari krisis ekonomi atau konflik politik.
Musuh Bersama dalam Lintasan Kepresidenan Indonesia
1. Presiden Pertama: Ganyang Malaysia
Presiden pertama menciptakan narasi “Ganyang Malaysia” sebagai instrumen untuk memobilisasi dukungan publik. Malaysia diposisikan sebagai ancaman eksternal yang harus dilawan secara kolektif. Dengan demikian, retorika nasionalisme berhasil mengalihkan perhatian masyarakat dari persoalan domestik, meskipun ekonomi sedang mengalami tekanan berat.
2. Presiden Kedua: PKI sebagai Ancaman Ideologis
Pada masa Presiden kedua, Partai Komunis Indonesia (PKI) dijadikan musuh bersama. Labelisasi komunisme sebagai ancaman ideologis memungkinkan rezim membangun legitimasi panjang. Narasi anti-PKI juga dijadikan alat untuk menekan oposisi dan memperkuat hegemoni politik, sehingga legitimasi negara dapat dipertahankan meski terdapat praktik otoritarianisme dan pelanggaran HAM.
3. Presiden Ketiga: Tanpa Musuh, Legitimasi Runtuh
Presiden ketiga gagal membangun konstruksi musuh bersama. Ketika krisis ekonomi 1998 melanda, fokus masyarakat tidak dapat dialihkan ke pihak eksternal atau kelompok tertentu. Akibatnya, kekecewaan rakyat langsung diarahkan pada pemerintah, yang berujung pada delegitimasi dan keruntuhan rezim.
4. Presiden Keempat dan Kelima: Delegitimasi Pendahulu
Berbeda dengan era sebelumnya, Presiden keempat dan kelima menjadikan pendahulunya—Presiden ketiga—sebagai musuh politik. Strategi ini menunjukkan bahwa musuh bersama tidak selalu harus berupa entitas asing atau ideologi, melainkan juga bisa diwujudkan dalam bentuk delegitimasi terhadap warisan politik rezim sebelumnya.
5. Presiden Keenam: Musuh dari Kelompok Keagamaan
Pada masa Presiden keenam, konstruksi musuh bersama diarahkan kepada kelompok-kelompok keagamaan tertentu, seperti FPI, Ahmadiyah, dan Syiah. Strategi ini bertujuan menampilkan pemerintah sebagai penjaga stabilitas dan kerukunan nasional, meskipun di sisi lain menimbulkan eksklusi politik dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas.
6. Presiden Ketujuh: Musuh Multidimensional
Presiden ketujuh memperluas konstruksi musuh dengan menghidupkan kembali narasi PKI, serta menempatkan FPI dan HTI sebagai ancaman terhadap negara. Dengan menciptakan musuh multidimensional, pemerintah berusaha mempertahankan dukungan publik dan memperkuat narasi stabilitas politik, meskipun hal ini juga memperdalam polarisasi masyarakat.
7. Presiden Kedelapan: Kegagalan Menciptakan Musuh Bersama
Presiden kedelapan tidak berhasil menghadirkan musuh bersama yang kredibel. Absennya narasi ancaman menyebabkan ketidakpuasan masyarakat langsung diarahkan kepada pemerintah, baik eksekutif dan juga legislatif. Kondisi ini mempercepat delegitimasi politik, sehingga rezim berakhir dengan dimusuhi oleh rakyatnya sendiri.
Praktik musuh bersama dalam politik Indonesia menunjukkan strategi ini efektif untuk konsolidasi jangka pendek, tetapi tidak berkelanjutan.
Mengacu pada teori Schmitt, penciptaan musuh bersama memberikan basis simbolik bagi negara untuk memobilisasi dukungan rakyat. Seperti ditegaskan Schmitt: “the political enemy need not be morally evil or aesthetically ugly; he simply is the other, the stranger”.
Hal ini menjelaskan mengapa pemerintah dapat dengan mudah mendefinisikan “musuh” baik dalam bentuk negara asing, ideologi, maupun kelompok masyarakat tertentu.
Dari sudut pandang Girard, setiap rezim yang membangun stabilitas melalui scapegoating akan menghadapi siklus ketidakstabilan baru. Girard menulis: “human societies achieve peace by projecting their internal violence onto a surrogate victim”.
Namun, ketika masyarakat menyadari bahwa konstruksi ancaman tidak menyelesaikan krisis ekonomi maupun korupsi, scapegoat kehilangan fungsinya. Pada titik inilah, seperti yang dialami Presiden ketiga dan kedelapan, rezim justru menjadi “musuh bersama” bagi rakyatnya sendiri.
Kesimpulan
Konsep musuh bersama dalam politik Indonesia selaras dengan teori Schmitt mengenai friend-enemy distinction serta mekanisme scapegoating Girard. Meski efektif dalam membangkitkan nasionalisme dan legitimasi politik, strategi ini bersifat sementara dan berisiko menciptakan polarisasi serta delegitimasi.
Dengan demikian, keberlanjutan pemerintahan tidak dapat bergantung pada retorika musuh bersama semata, melainkan harus ditopang oleh kapasitas nyata negara dalam memperbaiki kondisi ekonomi, memperkuat institusi hukum, dan memenuhi kebutuhan rakyat.
*) Aldi Ismail Fahmi, adalah Ketua DPK KNPI Rancaekek, Kab Bandung, Dewan Pembina PC. IPNU Kab. Bandung.
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id
Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
Panjang naskah maksimal 800 kata
Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP