KETIK, PACITAN – Sentra Kuliner di kawasan Pusat Layanan Usaha Terpadu (PLUT) Pacitan tampak sepi.
Fasilitas yang semula dirancang untuk menata pedagang kaki lima (PKL) sekaligus menggerakkan ekonomi mikro itu kini nyaris tanpa aktivitas berarti.
Salah satu pedagang, Ana (40), yang masih bertahan sejak 2020, mengaku penurunan jumlah pengunjung membuat banyak pedagang memilih hengkang dan mencari lokasi yang lebih strategis.
“Di sini sepi pembeli, jadi banyak teman-teman pedagang pindah ke tempat yang lebih ramai. Kalau di pasar atau dekat jalan utama kan lebih banyak pengunjung,” tutur Ana, Selasa, 4 November 2025.
Ia menambahkan, sepinya sentra tersebut juga karena tidak adanya kegiatan yang bisa menarik minat masyarakat untuk datang.
Kondisi itu membuat sebagian besar pelaku usaha enggan bertahan.
“Kalau dulu per hari bisa dapat Rp400 sampai Rp500 ribu, sekarang hanya sekitar Rp200 ribuan. Itu pun kadang pas-pasan untuk biaya operasional dari rumah ke sini,” ucapnya.
Alih-alih menjadi pusat ekonomi baru, keberadaan sentra kuliner di bawah naungan Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Pacitan itu justru belum memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).
Plt. Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Pacitan, Sri Wibowo menjelaskan, rendahnya minat penyewa dan minimnya pengunjung menjadi penyebab utama seretnya capaian PAD dari sektor tersebut.
“Dari sejumlah kios yang disediakan, hanya empat lapak yang aktif digunakan,” ujarnya.
Setiap pedagang dikenai retribusi sebesar Rp50 ribu per kapling per bulan atau sekitar Rp600 ribu per tahun, sesuai peraturan daerah (perda).
Dengan kondisi tersebut, total PAD yang masuk dari Sentra PLUT hanya sekitar Rp2,4 juta per tahun.
“Untuk listrik dibayar sendiri, kolektif melalui paguyuban. Kalau retribusinya hanya Rp50 ribu per bulan,” tambahnya.
Sri Wibowo menyebut, pendapatan dari penyewaan sentra kuliner itu menjadi satu-satunya sumber PAD yang dikelola instansinya.
“Objek PAD di Dinas Koperasi itu hanya sewa kios di Shelter PLUT, targetnya setahun Rp6 juta. Itu bisa tercapai kalau ada 10 pedagang yang menempati,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Bidang Kewirausahaan PMII Pacitan, Feri Irawan menilai, kondisi tersebut diperparah oleh minimnya inovasi dari dinas terkait.
Menurutnya, tanpa langkah nyata dan strategi pengembangan yang jelas, fasilitas yang seharusnya menjadi wadah pemberdayaan ekonomi justru berpotensi menjadi beban daerah.
“Tanpa inovasi dan dukungan konkret, fasilitas seperti ini bisa jadi proyek gagal yang justru membebani anggaran daerah,” ujarnya.(*)
