KETIK, PACITAN – Lahan pertanian di Kabupaten Pacitan terus menyusut dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Pacitan, alih fungsi lahan sawah mencapai rata-rata 1,17 persen per tahun.
Kepala DKPP Pacitan, Sugeng Santoso, mengingatkan bahwa kondisi ini patut diwaspadai karena dapat berdampak serius pada ketahanan pangan daerah.
“Alih fungsi lahan pertanian bukan hanya soal berkurangnya area tanam, tapi juga akan memengaruhi jumlah produksi beras kita. Kalau dibiarkan, Pacitan bisa semakin bergantung pada pasokan beras dari luar daerah,” ujar Sugeng, Selasa, 16 September 2025.
Menurutnya, penyusutan lahan dipicu dua faktor utama. Pertama, kepemilikan lahan yang semakin sempit akibat pembagian warisan maupun jual beli.
"Lahan kecil lebih mudah dialihkan ke fungsi non-pertanian seperti perumahan atau usaha," ucapnya.
Kedua, lemahnya pengendalian tata ruang. Jika aturan tata ruang longgar, potensi alih fungsi lahan akan semakin besar.
Sugeng menambahkan, kebutuhan lahan sawah ideal bagi Pacitan adalah 17 ribu hektare.
Namun, kondisi saat ini hanya tersisa sekitar 14 ribu hektare. Artinya, masih ada kekurangan 3 ribu hektare untuk mencapai kemandirian pangan.
“Kita sebenarnya bisa mencapai luas tanam lebih dari 20 ribu hektare jika memanfaatkan musim hujan. Tapi kenyataannya sawah kita tinggal 14 ribu hektare. Karena itu solusinya petani harus meningkatkan indeks pertanaman, minimal menanam dua kali dalam setahun, bahkan tiga kali bila memungkinkan,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya kesadaran bersama, baik dari masyarakat maupun pemerintah desa, untuk menjaga keberadaan sawah agar tidak semakin tergerus.
“Kalau lahan pertanian terus menyusut, kita yang akan rugi. Ketahanan pangan terganggu, harga beras bisa melonjak, dan kesejahteraan petani pun ikut terancam,” tegasnya.
Sebagai gambaran, rata-rata konsumsi beras masyarakat Indonesia mencapai 81,23 kilogram per orang per tahun. Dengan jumlah penduduk Pacitan sekitar 600 ribu jiwa, kebutuhan beras daerah ini mencapai 48 ribu ton setiap tahun.
“Kalau produksi kita tidak bisa mencukupi, otomatis akan ada ketergantungan dari luar. Dan ini berbahaya jika dalam kondisi darurat,” pungkas Sugeng.(*)