Raut wajahnya tenang. Tapi begitu bicara soal tambang, nada suaranya langsung naik setengah oktaf. “Bayangin, satu provinsi kecil seperti Bangka Belitung bisa bikin negara bocor sampai tiga ratus triliun rupiah. Ini menyakitkan!” ujar Muhammad Sirod, Pengamat Industri Pangan dan Dewan Pakar Aspebindo (Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia), membuka percakapan siang itu.
Angka fantastis itu bukan karangan. Presiden Prabowo Subianto sendiri dalam kunjungannya ke Bangka menyebut potensi kerugian negara akibat tambang ilegal bisa mencapai Rp300 triliun. Nilai barang rampasan yang sudah disita pemerintah terdiri atas enam smelter, timbunan logam, dan peralatan tambang ditaksir sekitar Rp 6 s.d. 7 triliun.
“Saya lega Presiden turun langsung. Tapi buat saya, masalahnya bukan cuma korupsi, melainkan sistem yang membiarkan kebocoran sebesar itu terjadi,” ujar Sirod, sambil mengetuk meja ringan.
Bangka Belitung memang ironi kecil di peta besar Indonesia. Provinsi mungil itu menyimpan sekitar 91 persen cadangan timah nasional atau setara lebih dari 2,1 juta ton bijih timah di hampir 500 titik tambang, menurut data Kementerian ESDM dan pernyataan resmi Presiden. Di antara pasir dan lumpur, terselip pula logam strategis masa depan: rare earth atau unsur tanah jarang.
“Di sana diperkirakan ada empat puluh ribu ton monasit. Itu bahan baku baterai, magnet, dan komponen energi bersih dunia. Tapi kita biarkan bocor ke luar negeri tanpa nilai tambah. Menyedihkan,” kata Sirod, nada suaranya meluruh.
Sebagai dewan pakar di asosiasi yang kerap disangkutpautkan dengan industri energi, Sirod justru menyuarakan peringatan keras.
“Transisi energi itu bukan slogan. Tapi kalau mau bersih, ya bersihkan dulu hulunya. Jangan sampai energi hijau dibangun di atas tambang yang korup.”
Konsep yang ia dorong dinamainya responsible mining for responsible future artinya pertambangan yang bertanggung jawab untuk masa depan yang juga bertanggung jawab.
Ia lalu menyinggung data yang kerap diabaikan: pada 2024, batubara masih mendominasi 40,56 persen bauran energi nasional, dengan PNBP sub sektor minerba mencapai Rp143 triliun, dan total kontribusi industri tambang terhadap penerimaan negara menembus lebih dari Rp250 triliun.
“Artinya, sektor ini vital. Tapi kalau separuhnya ilegal, negara cuma dapat debunya,” katanya pelan, matanya menatap jauh.
Yang menarik, pria yang juga dikenal sebagai analis pangan ini selalu mengaitkan tambang dengan pangan.
“Orang sering lupa, energi dan pangan itu saudara kandung. Listrik, pupuk, dan irigasi semuanya butuh energi. Kalau energi kita bocor, pangan ikut goyah. Kedaulatan pangan tanpa kedaulatan energi itu cuma omon-omon,” ujarnya.
Ketika ditanya soal kerusakan lingkungan di Babel, Sirod menghela napas.
“Yang rusak bukan cuma permukaan tanah, aktivitas tambang ilegal ini merusak ekosistem dan biota di sekitarnya. Air tanah berubah, tambak hancur, sawah apalagi, tak bisa ditanami, ikan-ikan yang dulunya mungkin gampang ditemui di kali, sekarang susah ditemui. Di balik Rp300 triliun kerugian negara, ada ribuan keluarga yang kehilangan sumber hidupnya.”
Ia menyebut perlunya pendekatan baru: ekonomi rakyat masuk ke sektor tambang lewat koperasi energi, pendampingan legal, dan pengawasan berbasis teknologi.
“Negara jangan cuma menindak, tapi juga membimbing. Kalau tidak, mereka akan kembali ke tambang ilegal karena nggak punya pilihan lain,” katanya.
Aspebindo sendiri, tambahnya, tengah menyiapkan roadmap hulu energi bersih yang menghubungkan korporasi besar, universitas, dan koperasi tambang rakyat. “Menambang masa depan, bukan masa lalu.”
Ia menutup percakapan dengan kalimat yang mencerminkan arah pikirannya: “Presiden Prabowo udah kasih contoh: negara nggak boleh kalah dari tambang ilegal. Sekarang giliran kita memastikan tambang itu nggak lagi merampas masa depan anak-anak petani.”
*) Muhammad Sirod merupakan Pengamat Industri Pangan dan Pertanian, Dewan Pakar Aspebindo Jakarta
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)