KETIK, SURABAYA – Anggota Komisi B DPRD Jawa Timur, M. Khusnul Khuluk, menyoroti belum optimalnya operasional Koperasi Desa Merah Putih (KDMP/KKMP) di Jawa Timur. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh rendahnya kesiapan dasar di tingkat desa, terutama terkait skema pembiayaan dan kelembagaan.
Khusnul menjelaskan bahwa skema pembiayaan dari Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) bukanlah dana tunai yang bisa langsung cair. Secara kelembagaan, koperasi harus memenuhi syarat sebagai badan usaha. Namun, banyak desa yang tidak siap memenuhi persyaratan tersebut.
“Beberapa desa tidak siap, jadi konsep koperasinya mereka ini sebetulnya kan harus ada simpanan pokok, simpanan wajib, simpanan sukarela, tapi ketika masyarakat diminta untuk mendirikan Koperasi Desa Merah Putih dengan iming-iming ada pinjaman uang dari Himbara itu Rp3-5 miliar, mereka senangnya bukan main,” ujar Khusnul Khuluk di Gedung DPRD Jatim, Senin, 11 Agustus 2025.
Namun, hingga kini dana tersebut belum cair, dan masyarakat enggan untuk membayar simpanan pokok serta simpanan wajib.
“Tetapi sampai sekarang ditunggu-tunggu kan belum ada uang, dan mereka kalau misalnya diminta untuk ada simpanan pokok, simpanan wajib mereka tidak mau,” imbuhnya.
Khusnul mendorong pemerintah untuk memperkuat pendampingan teknis sebelum membahas pencairan kredit.
“Salah satu solusinya pemerintah harus sering memberikan bimbingan teknis kepada para pengurus koperasi untuk segera dimulai. Karena kalau tidak dimulai dengan modal simpanan-simpanan tersebut, saya rasa tidak akan turun dana dari Himbara itu,” tegasnya.
Ia menyarankan agar masyarakat diarahkan untuk memulai usaha riil berskala kecil, seperti ritel kebutuhan pokok, LPG, atau apotek/klinik desa, sambil menata administrasinya. Khusnul menyebut kemungkinan dana dari Himbara baru akan cair pada Oktober, sehingga masyarakat harus mulai mempersiapkan diri.
“Secara nasional kemungkinan dana akan turun di bulan Oktober, maka masyarakat sekarang ini diminta untuk persiapan menjalankan koperasi itu, apakah di usaha ritel atau mungkin gas atau di apotek desa atau klinik desa,” jelasnya.
Menurut Khusnul, ada miskomunikasi antara pemerintah dan masyarakat.
“Faktanya, masyarakat kalau tidak ada uang tidak akan jalan," ungkapnya.
Dari pantauannya, tingkat operasional KDMP masih sangat terbatas, dengan yang sudah berjalan tidak sampai lima persen. Koperasi yang sudah aktif sejak awal akan lebih cepat berkembang dibanding yang hanya berdiri di atas kertas. Khusnul juga menyinggung risiko unit simpan pinjam di tingkat desa, seperti yang terjadi di Lumajang, di mana banyak kepala desa enggan membuka skema pinjaman karena potensi macet dan tekanan sosial.
“Wong duite pemerintah ae kok nemen-nemen nagih (uangnya pemerintah ajak kok, ditagih), hal itu akan balik ke kepala desanya ketika ditagih,” katanya.
Ia menyarankan agar kegiatan simpan pinjam dihindari terlebih dahulu dan fokus pada usaha barang dan jasa yang memiliki arus kas jelas.
Untuk mengatasi masalah ini, Khusnul meminta Dinas Koperasi Provinsi Jatim meningkatkan penyuluhan dan pendampingan intensif. Ia juga menyarankan agar dinas menggandeng perguruan tinggi jika anggaran pembinaan terbatas.
“Kalau anggaran sekarang dianggap tidak ada, maka beberapa perguruan tinggi ini diajak untuk bisa memfasilitasi biar bisa jalan dulu, running dulu, karena tidak mungkin Himbara langsung turun blek Rp3 miliar,” pungkasnya. (*)