Bobibos, nama ini sedang nge-gas di seantero negeri. Singkatan Bahan Bakar Original Buatan Indonesia, Bos!. Katanya, ini BBM ajaib. Bikinan anak bangsa. Asli. Dibuat dari limbah jerami.
Hebatnya lagi? Oktan setara RON 98. Harga? Fantastis. Cuma sepertiga dari bensin sekelasnya. Kalau benar demikian, ini bukan lagi lompatan. Lebih tepat dibilang “Quantum Leap”.
Tapi saya, Anda, dan kita semua, jangan cepat-cepat ber-euforia. Kita ingat betul. Dulu ada Blue Energy. Ditemukan di zaman Presiden SBY. Janjinya, air bisa jadi bensin. Berakhir sukses? Penemunya dijebloskan bui. Karena inovasinya terbukti masuk kategori penipuan.
Lalu, di era Pak Jokowi, muncul Nikuba (Niku Banyu). Air jadi hidrogen. Sempat dipamerkan. Ada motor dinas pakai untuk uji coba sekaligus pamer publik. Katanya berhasil. Bahkan kabarnya sempat dilirik perusahaan otomotif Italia. Hasilnya sekarang? Nihil. BRIN skeptis. Penemunya kecewa, lalu pundung. Sampai hari ini, Nikuba cuma jadi cerita di warung kopi. Belum dapat stempel resmi.
Blue Energy dan Nikuba ini cermin. Cermin kerinduan bangsa kita pada solusi instan. Masyarakat kita ini gampang terhipnotis cerita sulap air jadi bensin. Padahal, ilmu fisika itu lugas: Anda tak bisa dapat energi lebih banyak dari yang Anda masukkan.
Energi tak bisa diperoleh gratis. Air itu produk pembakaran. Memecahnya lagi butuh energi. Itu namanya elektrolisis. Pelajaran kimia anak SMA. Bukan inovasi energi nasional. Tapi sekadar eksperimen yang dibungkus label kebanggaan.
Kita harus berhenti berharap pada keajaiban. Jika klaim sulap air jadi bahan bakar benar, mestinya hadiah Nobel sudah di tangan. Bukan sebatas pameran di publik atau di lapangan..
Kuda Pacu Bobibos
Bobibos, setidaknya, bermain di lapangan yang benar. Dia pakai jerami. Biofuel. Ini bukan sulap. Ini ilmu kimia. Bioetanol, biodiesel. Dunia sudah tahu. Potensinya nyata. Peluangnya besar. Tapi, syaratnya berat. Harus transparan. Harus teruji. Harus ekonomis.
Tanpa itu, Bobibos hanya akan jadi cerita bagus, namun berakhir di laci meja. Dua penemuan sebelumnya sudah gugur di meja sains. Mereka lebih cocok disebut fenomena sosial. Bobibos ini kuda pacu terakhir kita. Karena ia pakai akal sehat.
Jeda Kritis Wajib
Biofuel itu realistis. Tapi tantangannya juga realistis. Ada persoalan lahan pangan versus lahan bahan bakar (food vs. fuel) yang perlu dipikirkan.
Ada pertanyaan yang harus dijawab: Seberapa efisien energi Bobibos?. Berapa rasio EROEI (Energy Returned On Energy Invested). Soalan bahan baku juga wajib dikritisi. Jerami (lignoselulosa) itu bahan baku yang bandel. Susah diolah. Butuh enzim mahal.
Nah, di sinilah letak jeda kritisnya. Bagaimana mungkin teknologi global yang dikenal berbiaya super tinggi—mengubah jerami menjadi RON 98—bisa dijual dengan harga sepertiga dari BBM sekelasnya?. Ini namanya kontradiksi logis.
Penulis mencatat, setidaknya terdapat tiga kontradiksi logis yang harus diterangkan pengembang Bobibos:
- Teknologi vs Biaya: Mereka harus memiliki formula rahasia yang efisiensinya jauh melampaui semua pengetahuan kimia industri yang ada di dunia saat ini.
- Kualitas vs Stabilitas: Biofuel itu rapuh. Cepat rusak, korosif. Mana data uji stabilitas dan korosivitas jangka panjang dari Lemigas? Kalau tidak ada, mesin kita bisa keropos.
- Bahan Baku vs Logistik. Jerami. Pasokan jerami butuh rantai logistik pengumpulan, pengangkutan, dan penyimpanan yang rumit dan mahal. Biaya ini bisa mematikan klaim harga super murah Bobibos.
Kenapa Menahan Data?
Sampai hari ini, data uji resmi Lemigas yang katanya sudah ada, ditahan. Masyarakat akhirnya justru sibuk dengan narasi sampingan. Harga murah Bobibos dipelintir pihak tertentu untuk menghujat perusahaan negara: Pertamina.
Pertamina tidak efisien. Padahal, harga jual BBM Pertamina mencerminkan seluruh rantai pasok global (harga minyak mentah), biaya distribusi logistik ke seluruh kepulauan, daerah terpencil dan komponen pajak negara.
Narasi lainnya juga ada. Keterlambatan sertifikasi komersialisasi Bobibos dituding karena birokrasi yang menghambat. Pemerintah dihujat. Dianggap menghambat inovasi anak bangsa. Padahal, sertifikasi Lemigas itu pagar negara untuk melindungi konsumen dari produk gagal dan berbahaya. Itu namanya kehati-hatian berbasis risiko, bukan penghambatan.
Mengapa data ditahan?. Sertifikasi Lemigas tak ditunjukkan. Patut diduga ada tiga alasan:
Pertama, Strategi Paten. Pengembang Bobibos sedang mengamankan rahasia dagang (IP). Buka kartu terlalu cepat, keunggulan kompetitifnya bisa hilang.
Kedua, Kepentingan Valuasi. Data uji adalah aset negosiasi untuk investor. Jangan dibuka sebelum deal besar.
Ketiga, Belum Siap Skala Industri. Ini asumsi paling kuat. Uji lab oke. Tapi scaling-up ke volume besar, dengan biaya murah sebagaimana yang diklaim, masih perlu dioptimalkan.
Politisasi dan Langkah Gegabah
Kekhawatiran kita terjadi: Bobibos mulai masuk panggung politik. Bahkan sudah ada Gubernur yang menyatakan keinginan investasi dan mau bikin “Bobibos mini” di seluruh daerahnya. Ini legitimasi prematur.
Dukungan dari figur publik selevel Gubernur sukses menempatkan inovasi ini di panggung politik sebelum tuntas di panggung ilmiah.
Izin komersialisasi ESDM belum keluar, tapi sudah ada klaim produksi perdana Bobibos mampu mencapai 3.000 liter. Ini jelas langkah gegabah.
Produksi dan distribusi BBM tanpa sertifikasi itu melanggar aturan. Membahayakan konsumen. Kita tak butuh sensasi viral. Apalagi pejabat publik yang numpang pansos. Kita butuh kepastian.
Bola sekarang ada di tangan pengembang Bobibos. Segera tuntaskan sertifikasi, komersialisasi dan perizinan. Transparansi proses produksi. Tunjukkan data uji komprehensif Lemigas. Jelaskan model bisnis yang menjamin biaya super murah Bobibos dapat berlanjut di skala pabrik.
Hanya dengan transparansi mutlak dan kepatuhan regulasi, harapan besar Bobibos bisa berubah dari sekadar sensasi menjadi terobosan kepastian bagi bangsa ini.
*) Muhsin Budiono Nurhadi merupakan Pemerhati Energi Nasional; General Manager CENITS (Centre for Energy and Innovations Technology Studies).
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)
