KETIK, SURABAYA – Iran dan Israel telah melakukan gencatan senjata setelah 12 hari terlibat perang, terhitung sejak 13 hingga 24 Juni 2025. Namun, hal ini menyisakan tanda tanya besar. Apakah konflik kedua negara benar-benar berakhir atau hanya jeda sesaat?
Dosen Hubungan Internasional Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Adli Hazmi, menyoroti rekam jejak Israel yang kerap melanggar perjanjian gencatan senjata. Menurutnya, kepercayaan adalah kunci agar gencatan senjata dapat bertahan lama.
"Seperti yang kita lihat Israel sendiri beberapa kali melanggar perjanjian gencatan senjata. Padahal di perjanjian gencatan senjata diperlukan kepercayaan dari kedua belah pihak yang berseteru," jelas Adli, Selasa, 1 Juli 2025.
Adli Hazmi, dosen Hubungan Internasional Unesa. (Foto: dok. pribadi)
Lebih lanjut hingga saat ini efek perang Israel dan Iran memang belum memberikan dampak apa apa terhadap Indonesia. Sedangkan Indonesia tidak memiliki kerja sama dengan Israel karena tidak memiliki hubungan diplomatik.
"Indonesia posisinya kan di tengah-tengah, yang kita tidak memihak salah satu pihak. Paling dampaknya hanya sebatas kerja sama dengan Iran atau Amerika saja," tambahnya.
Namun, jika perang Iran dan Israel kembali memanas dan meluas, Indonesia dipastikan akan merasakan dampaknya secara ekonomi. Hal ini tak lepas dari posisi strategis Iran yang menguasai Selat Hormuz, jalur perdagangan vital yang dilewati 20 persen pasokan minyak dunia. Penutupan selat ini akan berdampak pada banyak negara, termasuk Indonesia.
"Iran ini kan memiliki posisi yang cukup kuat sebenarnya, dimana mereka menguasai selat hormuz jadi kalau sampai meletus lebih parah, tentu kita akan terpengaruh," paparnya.
Adli menambahkan, Indonesia dikenal sebagai negara yang menjunjung tinggi perdamaian dan menaruh perhatian khusus pada isu tersebut. Jika konflik Israel-Iran kembali memanas, pemerintah Indonesia kemungkinan akan memainkan perannya dalam menyuarakan perdamaian melalui jalur diplomasi. Ia mencontohkan peran yang diambil mantan Presiden Joko Widodo saat perang Ukraina-Rusia.
"Saya melihat ada kemungkinan kesitu ya, tentunya dengan jalan diplomasi, Indonesia memiliki kapasitas. Apalagi Menteri Luar Negeri terdahulu Retno Marsudi cukup vokal menggaungkan perdamaian," pungkasnya. (*)