KETIK, SURABAYA – Delegasi Indonesia pada L20 Summit 2025 menyoroti dan memberi perhatian pada pekerja informal, terutama dalam peningkatan pekerjaan layak serta mengatasi informalitas dan kerja rentan.
Dalam siaran pers diterima di Surabaya, Senin, 28 Juli 2025, salah seorang delegasi asal Indonesia William Yani menilai situasi global ketenagakerjaan saat ini yang masih didominasi sektor informal dan kerja tidak layak.
Karena itu, kata dia, perlu strategi transformasi ekonomi untuk memperluas pekerjaan formal dengan perlindungan sosial.
"Perlu inisiatif kebijakan untuk menghapus kerja paksa, diskriminasi dan praktik kerja tidak aman. Peningkatan peran serikat pekerja dalam mendampingi pekerja informal dan rentan," kata dia.
William Yani Wea merupakan Ketua Umum Serikat Pekerja Informal Migran dan Pekerja Profesional Indonesia (SP-IMPPI) sebagai perwakilan dari KSPSI AGN. Selain itu, delegasi Indonesia diwakili Elly Rosita Silaban yang merupakan Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI).
L20 Summit tahun ini digelar di Johannesburg, Afrika Selatan pada 28-29 Juli 2025. L20 mewakili kepentingan pekerja di tingkat negara anggota G20 yang tujuannya menyatukan serikat pekerja dari negara-negara G20 dan Serikat Pekerja Global.
Forum ini diselenggarakan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Internasional (ITUC) dan Komite Penasihat Serikat Pekerja (TUAC) untuk OECD.
Sementara itu, Willy juga mengungkapkan perlu ada kebijakan inklusif yang berhasil memasukkan pekerja informal ke dalam sistem perlindungan kerja. Namun, ia mengingatkan tingginya jumlah pekerja informal menjadi salah satu masalah krusial.
Ia mencontohkan di negara seperti Indonesia, India, dan Nigeria, lebih dari 50 persen pekerja tidak memiliki kontrak, jaminan kesehatan atau perlindungan hukum.
Dampaknya, lanjut dia, pekerja tidak mendapatkan kepastian penghasilan dan tidak ada perlindungan secara hukum, kerja rentan di sektor formal (Gig Economy).
"Contohnya pengemudi ojek online dan kurir digital yang tidak memiliki kepastian pendapatan maupun jaminan sosial, meskipun bekerja penuh waktu," ujar putra tokoh buruh, Jacob Nua Wea ini.
Di sisi lain, Presiden KSBSI Elly Rosita Silaban dalam forum ini mendapat kehormatan memberikan sambutan. Ia memberi perhatian pada kebijakan Indonesia yang melarang ekspor mineral mentah, khususnya nikel dan bauksit.
Dengan demikian pihaknya menghadirkan kekuatan sekaligus tantangan dalam konteks ketenagakerjaan.
Ia juga menilai sisi positifnya, yakni kebijakan yang telah mendorong industrialisasi hilir dalam negeri sejalan dengan amanat konstitusi untuk memanfaatkan sumber daya alam bagi kepentingan umum.
Dengan begitu menjadikan produsen bahan olahan seperti baterai kendaraan listrik dan memposisikan Indonesia secara strategis dalam rantai pasok global dan mendukung pengembangan industri hijau.
"Kebijakan ini juga telah mendorong investasi, seperti yang terlihat dalam pembangunan smelter di wilayah seperti Morowali dan Teluk Weda, yang berpotensi menciptakan lapangan kerja," tutur dia. (*)