KETIK, SURABAYA – Tahu nggak sih? Bahwa apa yang kalian lihat di media sosial itu hampir seluruhnya adalah hasil rekayasa, postingan yang kalian lihat, selebgram yang kalian ikuti, dan berbagai tempat nongkrong cozy yang kalian lihat di media sosial adalah hasil kurasi dari realitas agar terlihat lebih estetis saat ditampilkan.
Nah, fenomena itu ternyata ada sebutannya, lho! Yakni hyperreality atau dalam Bahasa Indonesia disebut dengan hiperrealitas. Kondisi dimana realitas buatan terlihat lebih ‘nyata’ dibanding kebenaran yang ada di dunia nyata.
Hiperrealitas pertama kali dikenalkan oleh sosiolog Jean Baudrillard pada sekitar tahun 1981, pada bukunya yang berjudul ‘Simulacra & Simulation’, sebelum memahami lebih jauh tentang hiperrealitas, terdapat dua konsep dasar yakni simulakra dan simulasi.
Jika diibaratkan, simulakra adalah objeknya, sementara simulasi adalah prosesnya. Dalam bukunya, Baudrillard menggunakan Disneyland sebagai perumpamaan. Di sini tokoh dan latar tempat ‘buatan’ berperan sebagai simulakrum atau objeknya, sementara itu seluruh pengoperasian taman hiburan, pemasaran ‘dongeng’ dan segala proses di dalamnya adalah simulasinya.
Setelah simulakra dan simulasi ‘terpenuhi’ maka terciptalah fenomena ‘hiperrealitas’. Hiperrealitas menciptakan kondisi dimana pengunjung akan merasakan hidup di dalam simulasi dan dikelilingi oleh simulakra, hingga mereka ada pada titik tidak dapat membedakannya dengan realitas yang ada.
Nah, contoh gampangnya di kehidupan sehari-hari kita adalah apa yang kalian lihat di media sosial, salah satu contoh yang paling sering ditemui adalah makanan atau minuman yang disajikan di tempat nongkrong yang cozy, lalu dipotret dan diposting ke media sosial.
Dari kacamata pengguna media sosial, makanan itu hanya bernilai secara estetika, mereka menjadi tertarik mengunjungi kafe tersebut dan seringkali mengabaikan realitas dimana terkadang makanan itu dibanderol dengan harga yang tidak masuk akal, atau rasanya yang ternyata tidak sesuai dengan tampilannya.
Dan jika rasa atau harga tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan, banyak orang akan merasa kecewa. Padahal, mereka sendiri yang memilih untuk percaya bahwa cafe tersebut worth it untuk didatangi berdasarkan ‘kurasi’ yang ada di media sosial.
Di sini dapat ditarik kesimpulan, makanan yang diposting berperan sebagai simulakra, media sosial sebagai simulasi, dan persepsi sosial yang kerap abai dengan realitas di baliknya adalah hiperrealitas.
Jadi, jangan gampang percaya dengan apa yang ditampakkan oleh media sosial ya, sobat Ketikers! Bijak-bijaklah dalam memilih apa yang harus dipercayai atau tidak, karena hiperrealitas bukan sekadar teori, tapi juga realita yang dihadapi oleh banyak orang tanpa mereka sadari
