KETIK, SURABAYA – Pakar Komunikasi Politik asal Universitas Airlangga Surabaya Dr. Suko Widodo memandang soliditas "Arek Suroboyo" saat ini harus naik kelas menjadi "Soliditas 2.0".
"Maknanya adalah tetap nilai lama, tetapi cara pakainya harus semakin cerdas sesuai medan baru," ujarnya di sela Konferensi Arek Suroboyo – Silaturahmi, Diskusi dan Doa Bersama di Gedung Merah Putih Balai Pemuda Surabaya, Sabtu, 27 Desember 2025.
Menurut Dosen FISIP tersebut, soliditas yang dimaksud bukan berarti mengubah jati diri, melainkan memperbarui cara menerapkannya.
Sukowi, sapaan akrabnya, menjelaskan bahwa Soliditas 2.0 berarti solid yang literat, yakni cek sebelum sebar, membaca sebelum menghakimi, mendengar sebelum menyimpulkan.
Kemudian, solid yang beradab, yaitu mampu berbeda tanpa memaki, mengkritik tanpa merundung.
Berikutnya, solid yang produktif yakni mengubah kepedulian menjadi aksi kecil yang konsisten, bukan semangat besar yang cepat padam.
Serta, solid yang lintas ruang yaitu menyambung kampung dan kampus, komunitas kreatif dan UMKM, warga dan birokrasi, dunia offline dan online.
"Soliditas bukan sekadar kata indah, ia modal hidup bersama. Tanpa soliditas, Surabaya yang merupakan Kota Perjumpaan mudah lelah, mudah curiga, mudah tersulut, mudah pecah," ucapnya.
Dengan soliditas, lanjut dia, Kota Perjumpaan menjadi tempat yang menumbuhkan rasa aman, kerja sama dan harapan.
*Maka untuk Arek Suroboyo hari ini dan esok, pesan sederhananya adalah jangan biarkan solidaritas mengecil menjadi reaksi, dan jangan biarkan keberanian mengecil menjadi keributan," kata dia.
Dijelaskannya, Surabaya tidak kekurangan orang pintar, namun yang sering dibutuhkan adalah orang mau hadir, menyambung dan mau bekerja bersama.
"Arek Suroboyo bukan dilahirkan untuk menang debat, melainkan menjaga martabat, merawat persaudaraan dan menuntaskan kebaikan bagi Surabaya kini serta Surabaya yang sedang kita siapkan untuk masa depan," tuturnya. (*)
