Gula, Diabetes dan Abolisi: Ketika Insulin Menjadi Kambing Hitam

12 Agustus 2025 07:00 12 Agt 2025 07:00

Thumbnail Gula, Diabetes dan Abolisi: Ketika Insulin Menjadi Kambing Hitam
Oleh: Elgi Zulfakar Diniy*

Pada pembelajaran IPA, saya selalu menyampaikan kepada para santri, tubuh manusia itu nggak beda jauh dengan negara. Butuh keseimbangan. Kalau kelebihan glukosa, sistem bisa kacau. Nama penyakitnya diabetes melitus. Solusinya bukan sembunyi, apalagi nyalahin hormon. Tubuh butuh insulin. Bukan untuk gaya-gayaan, tapi buat bertahan hidup.

Di luar kelas, ada satu kabar yang membuat teori ini terasa makin nyata. Tom Lembong, orang yang dikenal bersih, rapi, dan bernalar lurus mendadak dituduh jadi biang kerok dari ribuan ton gula rafinasi. Jumlahnya bukan dua sak di warung, tapi puluhan ribu ton. 

Kalau dibagi rata ke seluruh pesantren, bisa jadi menu berbuka puasa selama sepuluh tahun atau bahkan cukup untuk menyuplai pesta manis-manis satu generasi. Masalahnya bukan pada kuantitas gula, melainkan overdosis narasi yang berdampak pada cara berpikir publik hingga berujung gangguan metabolisme nalar. 

Dalam tubuh manusia, insulin itu penyelamat. Tapi kalau pakai logika ala politik hari ini, insulin disalahkan karena bikin tubuh "terlalu normal". Sama seperti Tom, yang terlalu normal buat negara yang nyaman dengan kebohongan.

Setelah huru-hara yang membahana, Prabowo Subianto, bukan lagi calon, bukan pula menteri, melainkan seorang presiden. Jabatan yang dulu katanya akan digunakan untuk memberantas ketimpangan, korupsi, dan memperbaiki sistem pangan. Hari ini, nama beliau justru muncul sebagai pemberi abolisi. Targetnya? Kasus gula yang menyeret nama Lembong.

Prabowo turun tangan memberikan abolisi. Publik bersorak. Media memuja. Komentator politik sibuk menganalisis seolah ini bentuk kebijaksanaan tingkat dewa. Abolisi disulap menjadi mukjizat ekonomi. Dalam masyarakat yang candu pada cerita manis, siapa pun yang tampil dengan kata “rekonsiliasi” akan dipuja sebagai penyelamat spiritual ekonomi.

Abolisi ini katanya demi kestabilan ekonomi. Supaya investor nggak panik. Supaya industri tetap jalan. Supaya nggak gaduh. Sederhananya, demi kenyamanan elite. Publik menyambut abolisi itu dengan tepuk tangan. Bukan karena paham isinya, tapi karena diajari untuk percaya bahwa semua yang dikatakan presiden pasti solusi.

Kesalahan tidak bisa dibuktikan. Pembelaan seharusnya hadir karena keadilan, bukan karena kasihan atau politik dagang sapi. Kalau abolisi dianggap pantas diberikan, sebaiknya berlaku adil. Rakyat kecil yang dikejar pajak juga pantas mendapat pengampunan. Petani yang dipaksa menjual hasil panen ke tengkulak juga pantas dibebaskan. Guru yang dibebani laporan absurd tiap minggu juga layak di-abolisi dari jerat birokrasi.

Pertanyaan penting muncul, siapa sebenarnya yang perlu diselamatkan? Tom Lembong? Atau kehormatan pemerintah yang nyaris terbongkar karena logistik pangan dikelola seperti mainan di dapur mafia?

Tidak banyak yang bertanya, kenapa orang yang tidak terbukti bersalah justru harus diabolisi? Apakah abolisi sekarang berfungsi sebagai surat bebas untuk semua masalah yang memalukan? Atau cara cepat menyingkirkan hal-hal yang terlalu jujur untuk sistem yang penuh tipu-tipu?

Gula rafinasi bukan jenis gula yang dijual bebas di warung kopi melainkan bahan baku industri makanan. Prosedur impornya punya jalur sendiri. Lembong tidak pegang kuota, tidak duduk di direktorat teknis, dan tidak ikut membubuhkan tanda tangan. 

Tuduhan ini terlalu kabur. Sama kaburnya dengan data distribusi pangan yang dari dulu enggan dibuka terang-terangan. Di tengah ketidakjelasan itu, Lembong dijadikan sasaran. Bukan karena kesalahan, tapi karena keberadaan.

Presiden memilih memberi abolisi. Gaya bicara tenang. Mimik penuh kendali. Disiarkan ke publik seolah ini bentuk keadilan. Padahal, abolisi dalam konteks ini bukan untuk membebaskan orang yang bersalah, melainkan menyelamatkan muka negara yang gagal mengatur jalur gula. 

Lucu kalau dipikir. Seorang presiden harus turun tangan memberi pengampunan pada orang yang justru tak melakukan pelanggaran. Rasanya seperti dokter memberi resep pada pasien yang sehat, karena tidak tega melihat rumah sakit sepi.

Tom Lembong bukan musuh negara. Justru salah satu dari sedikit orang yang masih berusaha membuat tubuh birokrasi ini bekerja dengan benar. Dalam sistem yang menderita diabetes akut karena terlalu banyak gula politik, dia malah bertindak sebagai insulin. Akal sehat masyarakat juga sedang mengalami komplikasi. Narasi lebih dipercaya daripada data. Tuduhan lebih seksi daripada klarifikasi.

Semua jadi pasien. Negara sedang menderita diabetes kronis. Gula yang berlebihan datang dalam bentuk janji politik, pencitraan, dan subsidi semu. Insulin malah langka, tidak tersedia dalam bentuk kejujuran, teknokrasi, atau integritas. Abolisi dalam kondisi ini bukan solusi, hanya pereda gejala sementara. Mirip kortikosteroid yang membuat pasien merasa segar, padahal sebenarnya makin dekat pada kolaps permanen.

Sebagai guru IPA, saya hanya bisa memberi peringatan kepada para santri: tubuh bisa bertahan tanpa gula selama beberapa waktu, tapi tidak bisa hidup tanpa insulin. Sama halnya dengan negara. Bisa bertahan tanpa sensasi politik, tapi tidak akan hidup sehat tanpa logika.

Gula narasi hari ini terlalu banyak disebar. Media ikut menyuap. Warganet sibuk mengunyah. Yang pahit ditolak, yang manis diglorifikasi, meski beracun.

Tom Lembong tidak perlu dibela dengan abolisi. Ia tidak bersalah. Justru yang perlu diusut adalah siapa yang sebenarnya memainkan jalur distribusi, siapa yang memanfaatkan ketiadaan pengawasan, dan siapa yang menikmati diam-diam manisnya skandal. Abolisi semacam ini bukan penyelamatan hukum. Ini penanda bahwa sistem sedang tidak siap menghadapi kebenaran.

Kalau abolisi jadi alat untuk tutup mulut, lebih baik sekalian abolisi logika rakyat. Biar semua diam, manis, dan perlahan mati pelan-pelan seperti penderita diabetes tanpa pengobatan. Santri perlu tahu, tidak semua yang diselamatkan berarti salah. Tidak semua yang diberi abolisi berarti beruntung. Kadang, abolisi diberikan bukan karena ada keadilan, tapi karena negara sedang butuh diam.

Tugas saya sebagai guru IPA bukan hanya menjelaskan bagaimana tubuh memproses karbohidrat, tapi juga bagaimana akal sehat harus dijaga agar tidak tergantikan oleh sensasi. 

Dunia sedang tenggelam dalam manis-manis palsu. Generasi berikutnya harus berani mencicipi pahit, jika memang pahit itu adalah kebenaran. Pada dasarnya, Insulin tidak butuh pujian. Cukup diberi ruang bekerja. Sama seperti kebenaran. Tidak perlu dihias dengan jargon. Cukup tidak dibunuh.

*) Elgi Zulfakar Diniy merupakan Pendidik di Tsurayya Islamic School Malang

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini abolisi Gula Elgi Zulfakar Diniy