KETIK, JOMBANG – Gerakan Pemuda Tani Indonesia (GEMPITA) menilai langkah Kementerian Pertanian (Kementan) menggugat Majalah Tempo merupakan tindakan konstitusional yang patut didukung. Gugatan itu dilayangkan terkait pemberitaan Tempo edisi “Poles-Poles Beras Busuk”, yang dianggap mencederai marwah petani Indonesia.
Koordinator Nasional GEMPITA, Ibrahim Asnawi, mengatakan bahwa polemik tersebut bukan sekadar persoalan antara Kementan dan Tempo, melainkan juga menyangkut kehormatan dan harga diri para petani.
“Judul berita yang provokatif dan isi pemberitaan yang tendensius tidak hanya menyerang institusi Kementan atau pribadi Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman. Lebih jauh, narasi itu seolah menggambarkan bahwa petani Indonesia tidak mampu menghasilkan beras berkualitas,” ujar Ibrahim saat dimintai keterangan Ketik.com Jombang, Rabu (5/11/2025).
Menurut Asnawi, program bantuan seperti pupuk, benih, dan alat mesin pertanian (alsintan) merupakan upaya negara dalam meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani. Narasi yang menyebut adanya “beras busuk”, kata Ibrahim, sama saja dengan merendahkan kerja keras jutaan petani di Indonesia.
“Itu penghinaan terhadap kerja keras petani kita. Mereka sudah berjuang di tengah cuaca ekstrem dan krisis pangan global, tapi justru digambarkan seolah menghasilkan beras yang tak layak konsumsi,” tegasnya.
Meski demikian, Asnawi mengaku tetap menghormati kebebasan pers. Namun, Ibrahim menegaskan kebebasan tersebut harus dijalankan dengan prinsip objektivitas, keseimbangan, dan tanggung jawab sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers serta Kode Etik Jurnalistik.
Ia juga menyebut bahwa Kementan telah memberikan 13 poin tanggapan dan konfirmasi kepada Tempo sebelum publikasi berita, namun hal itu tidak ditampilkan secara proporsional dalam laporan investigasi tersebut.
“Jika benar demikian, Tempo telah gagal menerapkan prinsip cover both sides yang adil,” tambahnya.
Asnawi menilai langkah hukum yang diambil Kementan bukanlah bentuk pembungkaman media, melainkan mekanisme hukum yang sah untuk menguji kebenaran pemberitaan.
“Ini bukan pembredelan pers, tapi uji kebenaran secara terbuka sesuai undang-undang,” ujar Ibrahim.
Lebih lanjut, Asnawi mengingatkan pentingnya peran media dalam menjaga semangat generasi muda di sektor pertanian. Narasi negatif, menurutnya, dapat mematahkan semangat petani dan menghambat regenerasi di sektor pangan.
“Indonesia adalah bangsa agraris. Jika petani kehilangan kehormatan, maka hilang pula identitas bangsa ini,” tutup Ibrahim.
Asnawi menegaskan akan terus berdiri bersama Kementan dalam menjaga kebenaran dan kehormatan petani Indonesia, serta menyerukan agar media massa kembali ke khittahnya sebagai mitra kritis pembangunan, bukan sebagai pihak yang meruntuhkan moral bangsa. (*)
