KETIK, SURABAYA – Pada September 2024 lalu, Kota Surabaya kembali resmi mendapatkan predikat sebagai Kota Layak Anak (KLA) Dunia yang diinisiasi oleh United Nations Children's Fund (UNICEF).
Surabaya menjadi kota layak anak Dunia pertama di Indonesia. Pencapaian ini menunjukkan bahwa Surabaya telah memenuhi standar internasional dalam menciptakan lingkungan yang aman, nyaman, dan inklusif bagi anak-anak.
Akan tetapi, di balik gelar bergengsi tersebut masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, khususnya kasus kekerasan anak.
Agus Wahyudi, S.Sos., M.Pd. Dosen S1 Pendidikan Guru SD Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) yang juga pemerhati sosial mengatakan, gelar Kota Ramah Anak yang disandang Kota Surabaya ini berkaitan dengan citra kota dan tidak mencerminkan realita sebenarnya, dimana memang kasus kekerasan anak di ibu kota Jawa Timur ini sendiri masih tinggi.
"Kalau menurut saya gelar ini berkaitan dengan status administratif saja atau citra yang ingin dibangun dalam hal ini pemerintah tentunya," jelas Agus kepada Ketik, Senin 21 Juli 2025.
Menurut Agus, untuk meraih predikat kota layak anak pemerintah melakukan proses administrasi kuantitatif, yang mana dari kaca mata sosiologi, penggunaan data berupa angka ini tidak mencerminkan realita sebenarnya yang ada di tataran empiris yang meliputi pengalaman langsung, observasi, dan pengujian terhadap fenomena dunia nyata.
"Jadi ukuran-ukuran kuantitatif itu sebenarnya tidak memotret secara kualitatif apa yang terjadi pada tataran empiris," tambahnya.
Agus mengungkapkan dalam penelitian yang dilakukan untuk tesisnya, dirinya menemukan banyak kasus bullying di beberapa sekolah tidak hanya dilakukan oleh sesama siswa, tetapi guru pun juga melakukan bullying kepada siswa.
Suara anak harus lebih didengar agar predikat Kota Layak Anak bukan hanya sebuag Gelar. (Foto: Husni Habib/Ketik)
Oleh sebab itu dirinya juga menyoroti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang digelar baru-baru ini menggaungkan tema "Anti Bullying" hanya sebatas persyaratan administratif yang berkaitan dengan citra pemerintah.
"Saya pernah menemukan guru itu menjadi subyek atau aktor dalam kasus bullying di sekolah. Makanya kemarin MPLS itu ada anti-bullying itu hanya image yang ingin dibangun pemerintah," tuturnya.
Oleh sebab itu gelar Kota Ramah Anak ini harusnya menjadi komitmen jangka panjang Pemkot Surabaya untuk menciptakan ruang sosial yang adil dan nyaman bagi semua warganya, bahkan untuk anak-anak. Pemkot Surabaya juga harus memberi ruang dan wadah bagi anak-anak untuk menyuarakan pendapatnya.
"Kota Ramah Anak ini kan juga punya makna, apakah anak-anak itu juga terlibat. Karena persyaratannya ditentukan oleh Elite Teknokratif Administratif karena berkaitan dengan citra," paparnya.
Dalam perkembangannya saat ini dirinya melihat pemerataan penerapan Kota Layak Anak di Surabaya masih belum merata. Hal ini perlu didorong lagi oleh Pemkot Surabaya agar semua anak di segala lini dan usia bisa mendapatkan ruang sosial yang aman dan nyaman untuk mendukung tumbuh kembangnya.
"Jadi memang masih belum merata dan perlu didorong agar semua anak bisa terjangkau. Anak-anak harus dilibatkan dan suaranya harus didengar untuk mendukung pemenuhan Kota Ramah Anak yang lebih merata," pungkasnya.
Surabaya Enam Kali Raih Predikat KLA UNICEF
Kota Surabaya telah enam kali berturut-turut meraih predikat KLA Utama dalam keterlibatan aktif dalam program Child Friendly Cities Initiative (CFCI) bersama UNICEF.
CFCI adalah inisiatif global bentukan UNICEF untuk mendukung pemerintah daerah dalam merealisasikan hak-hak anak di tingkat lokal dengan menggunakan Konvensi Hak Anak sebagai dasarnya.
Hal ini sejalan dengan komitmen Kota Surabaya, yang memiliki jumlah penduduk usia 0-18 tahun sebanyak 829.348 orang, untuk menjadi tempat yang ramah anak.
Indikator penilaian KLA oleh UNICEF meliputi aturan, payung hukum, hingga program-program yang dijalankan di berbagai tingkatan, mulai dari kelurahan, kecamatan, hingga Perangkat Daerah (PD) di tingkat kota.
Program CFCI UNICEF di Surabaya difokuskan di lima area prioritas. Di antaranya peningkatan kualitas layanan kesehatan, pendidikan, dan perlindungan anak.
Selain itu, juga untuk penguatan partisipasi anak dalam perencanaan, penganggaran, dan pengawasan pembangunan. Pemkot juga memprioritaskan peningkatan kapasitas dan koordinasi antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. Pemkot Surabaya juga memprioritaskan program CFCI UNICEF ini untuk peningkatan kesadaran dan dukungan masyarakat terhadap hak-hak anak.
Beberapa program Pemkot Surabaya juga berfokus pada hak-hak anak di antaranya pembagian seragam gratis, pemberlakuan jam malam, Sekolah Orang Tua Hebat (SOTH), Rumah Ilmu Arek Suroboyo hingga keterlibatan anak dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang).
Mewujudkan Surabaya Kota Layak Anak Bukan Hanya Tugas Pemerintah
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Surabaya Ida Widyawati menegaskan fasilitas untuk anak di Surabaya sudah cukup memenuhi hak anak Kota pahlawan.
"Insya Allah Pemkot ini berusaha untuk memenuhi kebutuhan anak, karena anak-anak ini juga menyampaikan keinginannya yang terwadahi dalam forum anak (FAS)," paparnya kepada Ketik, Selasa 22 Juli 2025.
Kepala Dinas DP3APPKB Surabaya Ida Widyawati. (Foto: Humas Pemkot Surabaya)
Dia menambahkan, salah satu hak paling mendasar bagi anak adalah hak untuk berpartisipasi dan didengar. Untuk itu, Ida menyebut anak-anak juga telah dilibatkan dalam Forum Anak Surabaya (FAS). Ini adalah forum partisipasi anak untuk menyuarakan kebutuhan mereka secara langsung.
"Setiap Musrembang itu kan kita libatkan. Mereka akan mengutarakan mereka butuhnya apa," jelas Ida.
Ida juga menyebut kesuksessan Kota Surabaya menjadi Kota Layak Dunia merupakan buah dari kolaborasi antar Organisasi Perangkat Daerah, bukan tanggung jawab salah satu dinas.
"Kebutuhan ini tidak hanya di tempat saya saja (DP3AK, red), jadi kebutuhan kaitan anak ini diampu oleh semua OPD. Nah, itu teman-teman Bappedalitbang yang menyebarkan hasil Musrembang ini ke OPD yang mempunyai tupoksi di situ. Insya Allah sudah terpenuhi," tuturnya.
Meski Surabaya telah melangkah jauh, masih ada tantangan tersisa. Kasus kekerasan anak masih muncul. Beberapa keluarga masih belum memahami pentingnya hak partisipasi anak. Tidak semua sekolah sepenuhnya inklusif bagi anak berkebutuhan khusus.
Ida menyebut pihaknya sudah melakukan penanganan yang tepat bagi korban kekerasan anak misalnya korban dapat melapor atau sekedar berbagi cerita melalui aplikasi.
"Kita punya aplikasi namanya SiapPPAK. Itu bisa laporan di situ, bisa konseling di situ, bisa memilih konselornya siapa, memilih psikolognya siapa, semuanya gratis," jelas Ida.
Ida menyebut jika anak tersebut tidak tertangani melalui konseling, DP3APPKB akan meninjau secara langsung keadaan korban kekerasan.
"Nanti kalau memang tidak bisa dilakukan konseling secara online, ya kita harus tetap memvisit untuk penanganan kasus kekerasan," jelasnya.
Dia menambahkan, pemenuhan hak anak tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata. Peran orang tua, sekolah, masyarakat, media, hingga dunia usaha juga sangat penting.
Orang tua dan keluarga merupakan garda terdepan yang harus menciptakan lingkungan aman, mendidik, dan penuh kasih sayang. Sekolah perlu menjadi tempat yang ramah anak, bukan sumber tekanan atau bahkan kekerasan.
"Anak-anak Indonesia khususnya kota Surabaya dapat terpenuhi hak-hak utamanya. Hak pengasuhan yang baik dari keluarga dan lingkungannya agar terbentuk menjadi anak Indonesia yang hebat," harap Ida Widyawati. (*)