KETIK, TULUNGAGUNG –
Praktik jual beli lahan untuk pendirian warung di bahu Jalan Jalur Lintas Selatan (JLS) Puncak Tretes, tepatnya di Desa Kalibatur dan Desa Rejosari, Kecamatan Kalidawir, Kabupaten Tulungagung, diduga berkaitan dengan salah satu anggota DPRD.
Isu ini langsung ramai dibicarakan warga. Sebab, lahan yang diperdagangkan itu sejatinya milik Perhutani.
Salah satu warga Desa Sine, Untung, yang ditemui di sebuah warung di sepanjang JLS Puncak Tretes, membenarkan bahwa isu jual beli lapak di kawasan itu memang sedang ramai dibahas.
Ia menegaskan bahwa lahan tersebut bukan milik pribadi atau warga, melainkan milik Perhutani. Namun, diduga ada oknum yang mengatasnamakan kelompok atau paguyuban pewarung dan menjual-belikan lahan itu dengan alasan “uang ganti rugi babat” bernilai puluhan juta rupiah.
“Sepengetahuan kami, tanah ini milik Perhutani, bukan milik pribadi. Tapi faktanya, ada oknum yang mengatasnamakan kelompok pewarung dan menjualbelikan lahan dengan alasan ganti rugi babat,” kata Untung, Kamis, 6 November 2025.
Untung menambahkan, beredar kabar bahwa seseorang bernama Supiyan pernah menarik iuran dari para pemilik warung di sepanjang JLS dengan nominal bervariasi, mulai dari Rp20.000 hingga Rp100.000 per minggu. Iuran tersebut disebut-sebut untuk dibagi kepada oknum Perhutani dan oknum aparat.
“Saya kasihan melihat para pemilik warung harus membayar iuran setiap minggu. Saya sempat bilang kepada mereka, kalau Supiyan datang lagi meminta iuran, suruh saja minta ke saya. Sejak itu, Supiyan tidak pernah datang lagi ke sini,” tambahnya.
Seiring waktu, Untung menyebut kelompok yang dulu dipimpin Supiyan akhirnya bubar. Namun, tak lama kemudian muncul kelompok baru yang dipelopori seseorang berinisial SH, anggota DPRD Kabupaten Tulungagung.
SH disebut-sebut menjabat sebagai ketua paguyuban, sementara Supiyan kini turun menjadi bendahara.
Kelompok baru ini kabarnya sedang mengurus Perjanjian Kerja Sama (PKS) untuk pengelolaan area JLS Puncak Tretes ke kementerian terkait.
"Yang kami heran, kenapa pengurusan PKS justru dilakukan oleh Samsul Huda yang bukan warga Desa Kalibatur. Kalau memang bisa diurus, seharusnya pemerintah desa Kalibatur dan Rejosari melalui BUMDes yang mengelola, agar hasilnya bisa dimanfaatkan untuk desa,” pungkasnya.
