KETIK, BLITAR – Di tengah derasnya arus informasi digital yang tak terbendung, ratusan kader posyandu se-Kota Blitar berkumpul dalam suasana hangat dan penuh keprihatinan. Bertempat di Hall Hotel Grand Mansion Kota Blitar, pertemuan yang sederhana, mereka duduk tertib, menyimak dengan seksama setiap kalimat yang dilontarkan oleh Wakil Ketua Komisi E DPRD Provinsi Jawa Timur dari Fraksi Golkar, Jairi Irawan. Tema yang diusung malam itu: “Menguatkan Nilai-Nilai Keluarga di Era Digital.”
Bagi Jairi, isu ini bukan sekadar wacana melainkan panggilan mendesak. Dalam pidatonya, ia menggambarkan bagaimana perkembangan teknologi ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi membawa kemudahan, di sisi lain menghadirkan ancaman nyata bagi karakter generasi muda.
“Digitalisasi ini seperti pisau bermata dua. Ada sisi baik dan buruknya. Tapi penentunya tetap nilai-nilai di keluarga. Dari sanalah semuanya bermula. Mau anak kita tumbuh ke arah positif atau negatif, semuanya ditentukan dari rumah,” ujar Jairi mantap, Senin malam 9 Juni 2025.
Ia tidak menampik bahwa gadget dan internet kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan, bahkan di lingkungan pendidikan. Namun, justru karena itu, peran orang tua semakin krusial.
Wakil Ketua Komisi E DPRD Provinsi Jawa Timur dari Fraksi Golkar, Jairi Irawan, S.Hum bersama anggota DPRD Kota Blitar, Yasa Kurniawanto bersama ratusan kader posyandu dalam acara sarasehan, Senin 9 Juni 2025. (Foto: Favan/Ketik.co.id)
“Kita sadar bahwa sekolah juga butuh perangkat digital. Tapi konten-konten yang beredar hari ini banyak yang tidak mendidik. Sekolah bisa membantu menyaring, tapi keluarga adalah benteng pertama,” tambahnya.
Menariknya, Jairi mengajak hadirin untuk kembali menelusuri jejak pendidikan klasik dari sosok teladan Islam Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Dalam penuturannya, Jairi menjelaskan pendekatan bertingkat terhadap pendidikan anak berdasarkan usia.
“Anak usia 0–7 tahun diperlakukan seperti raja—diberi kasih sayang penuh. Di usia 7–14 tahun, ia mulai dikenalkan aturan, seperti tawanan yang belajar tanggung jawab. Lalu pada usia 15–21 tahun, ia diperlakukan sebagai sahabat. Pendekatan ini membentuk kepribadian secara bertahap dan matang,” tutur Jairi, disambut anggukan para peserta.
Namun, diskusi malam itu tidak berhenti di tataran teori. Jairi menyoroti perlunya kader posyandu tak hanya fokus pada layanan kesehatan ibu dan anak, tetapi juga menjadi garda depan dalam pembinaan keluarga. Salah satu gagasannya adalah memperkuat keberadaan “pos curhat” di setiap kelurahan ruang aman tempat orang tua dan anak bisa menyampaikan keresahan mereka tanpa takut dihakimi.
“Kalau anak-anak malu datang ke pos, kenapa tidak kita yang datang ke mereka? Door to doorlebih efektif. Tapi tentu, para kader posyandu ini juga harus dibekali ilmu kekinian. Jangan sampai kita menasihati tapi tak paham realita digital hari ini,” jelasnya.
Malam itu, tak hanya Jairi yang bicara. Turut hadir Wakil Ketua Komisi I DPRD Kota Blitar, Yasa Kurniawanto. Ia menyambut baik gagasan rekannya di provinsi dan menilai persoalan parenting digital kini menjadi keresahan bersama.
“Apa yang disampaikan Mas Jairi sangat relevan. Banyak orang tua hari ini yang merasa kewalahan menghadapi anak-anak mereka. HP bukan sekadar alat komunikasi tapi juga sumber kecemasan,” ujar Yasa.
Menurutnya, dalam sesi diskusi, ada usulan menarik dari salah satu kader agar dibuatkan Peraturan Wali Kota (Perwali) yang mengatur penggunaan HP di lingkungan sekolah.
“Ini masukan yang bagus dan serius. Akan kami komunikasikan di DPRD Kota Blitar. Tidak menutup kemungkinan kita rumuskan regulasi yang membantu orang tua dan sekolah lebih tenang dalam membimbing anak-anak,” tambahnya.
Yasa menegaskan bahwa komunikasi dua arah seperti dalam forum ini harus terus diperkuat. Dialog antara pembuat kebijakan dan masyarakat merupakan fondasi dari solusi yang tepat guna dan berkelanjutan.
“Kegiatan seperti ini adalah jembatan. Masyarakat bisa menyuarakan langsung keresahannya, dan kami di legislatif bisa menindaklanjuti. Ini bukan hanya sekadar seremoni, tapi gerakan nyata untuk perubahan,” tutup Yasa.
Malam pun beranjak larut, namun diskusi tak lekas usai. Satu per satu kader posyandu menyampaikan gagasan, harapan, juga keresahan mereka. Di tengah sorotan ponsel dan layar-layar kecil, ada suara hati yang ingin kembali pada nilai-nilai yang besar kasih sayang, ketegasan, kepercayaan. Dan di sinilah, di sebuah pertemuan sederhana, semangat membentengi keluarga dari badai digital mulai disulut.