KETIK, BLITAR – Ribuan warga Kota Blitar terancam tidak menerima bantuan Beras Sejahtera Daerah (Rastrada) tahun 2025. Wakil Wali Kota Blitar, Elim Tyu Samba, mengaku prihatin dan menilai kebijakan itu diambil tanpa melibatkan dirinya.
“Saya sering diajak koordinasi beberapa kepala dinas. Tapi untuk kebijakan, saya tidak punya kewenangan apa pun,” kata Elim saat dihubungi Ketik.com, Senin, 27 Oktober 2025.
Elim mengatakan dirinya memahami batasan kewenangan sebagai wakil wali kota. Namun ia menyesalkan minimnya komunikasi dengan Wali Kota Blitar, Syauqul Muhibbin, terutama dalam kebijakan yang berdampak langsung pada masyarakat.
“Saya paham soal kewenangan Mas Wali. Tapi kalau komunikasi, kalau diajak sharing sebelum keputusan diambil, apa salahnya? Kita ini satu paket,” ujarnya.
“Saya tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan anggaran. Ketika tanya ke dinas terkait, jawabannya pasif. Ya mungkin karena saya hanya wakil,” tambahnya.
Dalam dokumen APBD Perubahan Kota Blitar 2025, anggaran program Rastrada dipangkas dari Rp17,649 miliar menjadi Rp14,354 miliar, atau turun sekitar Rp3,29 miliar. Jumlah keluarga penerima manfaat (KPM) pun berkurang dari 9.989 menjadi 6.534 penerima.
Sebaliknya, anggaran untuk Bagian Umum Sekretariat Daerah Kota Blitar, yang mencakup pemeliharaan gedung, kegiatan protokoler, dan kebutuhan rumah tangga pejabat, justru naik dari Rp4,19 miliar menjadi Rp7,59 miliar.
Kenaikan sebesar Rp3,29 miliar itu sama dengan besaran pemotongan Rastrada menimbulkan kritik di masyarakat.
“Kami ini masih berjuang memenuhi kebutuhan harian. Kalau bantuan beras dikurangi, siapa yang mikir rakyat kecil?” kata Ari, warga Kelurahan Pakunden.
Anggota Fraksi PKB DPRD Kota Blitar, Totok Sugiarto, yang juga anggota Badan Anggaran (Banggar), mengatakan pemangkasan anggaran sosial merupakan bagian dari kebijakan rasionalisasi APBD sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025.
“Pemangkasan itu bagian dari penyesuaian belanja daerah sesuai Inpres dan dituangkan dalam Perwali Nomor 13 Tahun 2025,” ujar Totok.
Namun, Totok menilai kebijakan tersebut seharusnya tidak mengorbankan rakyat kecil.
“Anggaran untuk fasilitas pejabat mestinya dinomor-sekiankan. Kepentingan masyarakat harus didahulukan,” katanya.
Totok menjelaskan, DPRD sempat menolak besaran pemangkasan yang dinilai berlebihan.
“Awalnya rasionalisasi Rastrada mencapai Rp5,14 miliar. Kami intervensi dan usulkan koreksi hingga Rp3,29 miliar. Ada sekitar Rp1,85 miliar yang bisa dikembalikan,” ujar dia.
Tambahan itu, kata Totok, memungkinkan sekitar 1.000 keluarga penerima manfaat kembali mendapat bantuan.
“Kami berusaha menyelamatkan yang masih bisa diselamatkan. Tapi kebijakan seperti ini jangan jadi kebiasaan,” tegasnya.
Pernyataan Elim menegaskan adanya retakan komunikasi politik antara dirinya dan Wali Kota Blitar. Sejumlah pejabat di lingkungan Pemkot menyebut hubungan keduanya kurang harmonis dalam beberapa bulan terakhir, terutama terkait kebijakan strategis dan pengelolaan anggaran.
Seorang pejabat di lingkar birokrasi mengatakan, keputusan-keputusan penting selama ini lebih banyak diambil terpusat di level wali kota.
“Wawali jarang dilibatkan dalam rapat kebijakan. Semua keputusan teknis datang dari atas,” ujar sumber tersebut.
Hingga berita ini diturunkan, Wali Kota Blitar Syauqul Muhibbin belum memberikan tanggapan atas pernyataan wakilnya maupun kritik soal pemangkasan Rastrada.
Kebijakan ini menambah panjang daftar kritik terhadap arah kebijakan anggaran Pemerintah Kota Blitar yang dinilai tidak berpihak pada masyarakat bawah.
Di tengah pemulihan ekonomi pascapandemi, pemotongan bantuan sosial dianggap sebagai langkah yang tidak populis dan berisiko politik tinggi.(*)
