KETIK, HALMAHERA SELATAN – Kehadiran perusahaan kayu PT Poleko Yobarson kembali menjadi sorotan masyarakat di Kecamatan Obi, Kabupaten Halmahera Selatan. Dalam kegiatan sosialisasi bersama konsultan Lembaga Wana Aksara, warga dan pemerintah desa menyampaikan langsung pandangan mereka terkait dampak kehadiran perusahaan pemegang konsesi hutan terbesar di Pulau Obi tersebut.
Meski beberapa warga telah direkrut Tujuan Orangi tenaga kerja, serta adanya pemanfaatan hasil pertanian lokal sebanyak 10 kg sayur dan hasil tangkap nelayan berupa 80 kg ikan momar untuk kebutuhan konsumsi perusahaan, masyarakat menilai dampak negatif masih lebih dominan dibandingkan dampak positif.
Peran Konsultan: Kajian Sosial, Bukan Bagian dari Perusahaan
Raffi Bimo, perwakilan konsultan dari Lembaga Wana Aksara, menegaskan pihaknya bukan bagian dari PT Poleko Yobarson.
“Kami bekerja sama dengan PT Poleko hanya dalam kerangka survei sosial berbasis partisipatoris (Participatory Rural Appraisal) dan Social Impact Assessment. Peran kami adalah mengumpulkan data, menganalisis, dan memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian sosial di lapangan,” jelas Raffi.
Budiman s. Mala Tokoh muda Pemerhati Masyarakat Obi. (Foto Riman/ ketik)
Ia menambahkan bahwa soal nilai kompensasi dan manfaat yang diterima masyarakat, konsultan tidak dapat menilai layak atau tidak, karena sangat bergantung pada kesepakatan, dinamika pasar, dan kebijakan pemerintah. Namun demikian, ia menegaskan bahwa perusahaan perlu meningkatkan kontribusinya melalui program CSR, penyerapan tenaga kerja, serta dukungan di bidang sosial-ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.
Suara Tokoh Masyarakat: Trauma Banjir dan Tuntutan Ganti Rugi
Budiman S. Mala, tokoh pemerhati masyarakat Obi, mengingatkan bahwa PT Poleko memegang konsesi hutan seluas ±86 ribu hektar, yang menurut catatannya, pernah memicu bencana banjir besar di Pulau Obi.
Banjir besar pertama terjadi pada 1990-an, merusak ribuan tanaman petani, sementara pada 5 Desember 2016, banjir bandang melanda sejumlah desa, termasuk Jikotamo, Buton, Laiwui, Akegula, dan Desa Baru. Desa Laiwui dan Akegula tercatat paling parah dengan kerugian material sangat besar.
“Ribuan pohon pala dan kelapa di Desa Buton rusak akibat banjir 2016, dan warga terpaksa pindah tanpa kompensasi. Kini PT Poleko kembali beroperasi, masyarakat masih dihantui rasa was-was. Kami mendesak perusahaan mengganti kerugian akibat banjir, jika tidak, kami siap melaporkan PT Poleko atas dugaan kejahatan lingkungan,” tegas Budi, salah satu tokoh masyarakat.
Raffi Bimo, Perwakilan Konsultan Lembaga Wana Aksara. (Foto: Riman/Ketik)
Selain itu, ia menyoroti bahwa regulasi konsesi PT Poleko yang berlaku sejak tahun 1970 sudah tidak relevan lagi, sehingga menyulitkan masyarakat dalam mengembangkan perkebunan di lahan sekitar hutan.
Harapan: Perbaikan Dampak Sosial
Menanggapi kekhawatiran tersebut, konsultan menyatakan telah menerima berbagai aspirasi masyarakat dan akan menuangkannya ke dalam laporan resmi.
“Harapannya, ke depan dampak negatif bisa dikurangi, sementara dampak positif semakin diperbesar. Kehadiran perusahaan swasta seharusnya menjadi mitra pembangunan, bukan menambah beban sosial masyarakat desa,” ujar Raffi.
Masyarakat Obi kini menunggu tindak lanjut dari PT Poleko Yobarson, termasuk kepastian program sosial yang lebih nyata serta solusi atas kerugian akibat banjir di masa lalu. (*)