KETIK, BLITAR – Suara gamelan mengalun pelan di halaman Kantor Kabupaten Blitar, Kanigoro, saat Sabtu siang 5 Juli 2025.
Tak lama, sorakan penonton memecah suasana. Dua pemuda bertelanjang dada maju ke tengah arena. Diiringi musik dan teriakan penyemangat, mereka mulai saling mencambuk dengan lidi yang dirangkai sedemikian rupa, ritual sakral yang dikenal masyarakat Jawa sebagai Tiban.
Di tengah riuhnya pertunjukan, ada sosok yang berdiri tenang Guntur Wahono, SE, anggota DPRD Provinsi Jawa Timur. Dialah yang hari itu bukan hanya datang sebagai tamu kehormatan, tetapi juga sebagai penggerak. Guntur secara simbolis menyerahkan bantuan berupa panggung dan seperangkat gamelan untuk Paguyuban Tiban Blitar Raya, sebagai bentuk dukungan terhadap pelestarian budaya.
“Ini bukan sekadar pertunjukan. Ini identitas. Ini doa. Ini silaturahmi,” ujar Guntur di hadapan ratusan hadirin yang datang dari berbagai kota seperti Kediri, Tulungagung, Ponorogo, hingga Lampung.
Kegiatan ini dirangkai dalam momentum istimewa: peringatan Hari Bung Karno, Hari Jadi Kabupaten Blitar, serta ulang tahun ke-4 Paguyuban Tiban Blitar Raya. Semuanya menyatu dalam semangat menjaga tradisi agar tak lapuk dimakan zaman.
Guntur bukan orang baru dalam upaya pelestarian budaya. Peraih SMSI Award 2025 ini meyakini bahwa di tengah gempuran modernisasi, seni tradisional seperti Tiban harus tetap mendapat tempat. “Anak cucu kita berhak tahu dari mana mereka berasal. Budaya bukan untuk dikenang, tapi untuk dijalani,” ucapnya tegas.
Bupati Blitar, Drs. Rijanto, yang turut hadir dalam acara tersebut, memberikan apresiasi tinggi. Ia menyebut Tiban sebagai warisan spiritual yang bermakna dalam. “Dulu Tiban digelar untuk meminta hujan, kini maknanya lebih luas memohon keselamatan, rezeki, dan kesejahteraan,” tutur Rijanto.
Bupati juga melihat Tiban sebagai peluang besar di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. “Ini bukan hanya budaya, tapi juga potensi. Pentas Tiban bisa menarik wisatawan dan menggerakkan UMKM,” tambahnya.
Ritual Tiban memang unik. Dua lelaki saling mencambuk bukan untuk menyakiti, tapi untuk menunjukkan kekuatan batin, keberanian, dan ikatan spiritual masyarakat terhadap alam semesta. Di balik kerasnya cambukan, tersimpan doa dan harapan.
Guntur menyadari betul makna ini. Ia memilih Tiban bukan karena keeksotisannya semata, tetapi karena nilai-nilai yang dikandungnya. “Ini bukan soal pertunjukan keras. Ini tentang kebersamaan, doa, dan identitas,” katanya.
Hari itu, Tiban bukan hanya dipentaskan. Ia dihidupkan kembali disaksikan, dirayakan, dan diteruskan. Bukan sebagai simbol masa lalu, melainkan bagian dari masa depan. (*)