KETIK, BLITAR – Agenda reses anggota DPRD Provinsi Jawa Timur, Guntur Wahono, S.E., Minggu malam 26 Oktober 2025, di Hotel Grand Mansion 2, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar, bukan sekadar forum formal menunaikan kewajiban konstitusional. Di hadapan ratusan peserta dan tokoh masyarakat, politisi PDI Perjuangan itu kembali memperlihatkan gaya politiknya yang khas: berpadu antara nasionalisme, budaya, dan kepedulian pada aspirasi rakyat.
Mengusung tema “Sosialisasi Penguatan Ideologi Pancasila Generasi Muda Penerus Bangsa”, Guntur membuka dialog dengan sentuhan reflektif tentang pentingnya menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian. “Pancasila bukan teks mati yang hanya dihafal. Ia adalah laku hidup yang kita jalankan setiap hari dari gotong royong, musyawarah, hingga menghormati perbedaan,” ujar Guntur dengan suara tenang namun berdaya dorong kuat.
Kader PDI Perjuangan yang dikenal getol menjaga tradisi lokal ini menilai bahwa budaya adalah ruang praksis nilai-nilai Pancasila. “Ketika kita menari Tiban, bergotong royong dalam hajatan desa, atau menjaga harmoni antarwarga, sesungguhnya kita sedang menjalankan Pancasila dalam bentuk paling konkret,” imbuhnya.
Acara malam itu tak hanya menjadi ajang penguatan ideologi, tetapi juga kanal serap aspirasi masyarakat. Salah satu isu yang mencuat kuat adalah ketiadaan sekolah menengah negeri di Kanigoro, wilayah yang notabene menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Blitar.
“Ini ironis,” keluh seorang tokoh masyarakat setempat. “Kami di ibu kota kabupaten, tapi anak-anak kami harus sekolah jauh ke kecamatan lain hanya untuk masuk SMA negeri.”
Aspirasi itu disambut serius oleh Guntur. Ia mengaku telah mencatat permintaan warga Kanigoro untuk diperjuangkan di tingkat provinsi. Namun, dengan nada realistis, ia juga menjelaskan bahwa kondisi regulatif saat ini memang tidak mudah.
“Pemerintah Provinsi Jawa Timur masih memberlakukan moratorium pendirian SMA baru,” jelas Guntur. “Kebijakan itu tertuang dalam Pergub Jatim Nomor 76 Tahun 2022 yang menegaskan perimbangan pendidikan 70 persen SMK dan 30 persen SMA. Jadi, untuk saat ini, pendirian SMA Negeri baru memang agak sulit direalisasikan.”
Kendati demikian, Guntur tak berhenti di situ. Ia menawarkan solusi yang dinilai lebih memungkinkan secara kebijakan sekaligus menjawab kebutuhan pendidikan menengah di wilayah tersebut.
“Kalau jalur SMA tertutup, kita dorong jalur SMK. Kami akan perjuangkan pendirian SMK Negeri di Kanigoro agar akses pendidikan menengah negeri tetap terbuka bagi masyarakat,” ujarnya disambut tepuk tangan panjang dari peserta.
Kehadiran Ketua Dewan Koperasi Wilayah Jawa Timur, Slamet Sutanto, dalam forum itu turut memperkaya diskusi, terutama ketika arah pembicaraan menyinggung peran pendidikan vokasi dalam memperkuat ekonomi kerakyatan. “SMK menjadi jembatan penting antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Jika Kanigoro punya SMK Negeri, itu bukan hanya soal akses pendidikan, tapi juga penguatan ekonomi masyarakat lokal,” kata Slamet menimpali.
Malam di Kanigoro itu akhirnya ditutup dengan suasana hangat: semangat ideologis, kesadaran budaya, dan harapan baru bagi pendidikan menengah di Blitar bagian tengah. Bagi Guntur Wahono, reses bukan hanya seremonial politik lima tahunan, melainkan ruang perjumpaan tempat nilai-nilai Pancasila dijalankan, dan suara rakyat dijadikan pijakan perjuangan. (*)
