KETIK, ACEH BARAT DAYA – Dua pabrik kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Aceh, yaitu PT Samira Makmur Sejahtera (SMS) dan PT Mon Jambe (MJ) tengah menjadi sorotan publik. Pasalnya, kedua perusahaan itu disebut tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU), namun tetap menggunakan skema kemitraan plasma dalam menentukan harga Tandan Buah Segar (TBS) milik petani mandiri.
Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Abdya, Muazam, mengungkapkan kejanggalan tersebut saat ditemui di Blangpidie, Selasa, 14 Oktober 2025. Menurutnya, kedua pabrik itu selama ini beroperasi hanya dengan mengandalkan pasokan sawit dari kebun rakyat, bukan dari kebun inti sebagaimana mestinya dalam pola kemitraan plasma.
“Mereka tidak punya HGU, tidak ada kebun inti, tapi tetap menggunakan istilah plasma untuk menentukan harga. Ini jelas tidak adil bagi petani mandiri,” tegas Muazam.
Muazam menyebutkan, harga TBS yang dibeli kedua pabrik tersebut jauh di bawah harga resmi yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Aceh. Disebutkan bahwa, PT SMS membeli TBS petani dengan harga Rp2.950 per kilogram, sedangkan PT Mon Jambe membeli dengan harga Rp2.970 per kilogram.
Padahal, lanjutnya, harga resmi sawit berusia 10–20 tahun yang ditetapkan Pemerintah Aceh mencapai Rp3.400 per kilogram. Maka dari itu, selisih harga yang mencapai Rp450 per kilogram ini sangat merugikan petani, apalagi petani mandiri tidak terikat dalam kemitraan resmi.
Apkasindo Abdya mendesak pemerintah daerah dan instansi terkait untuk segera mengevaluasi legalitas operasional kedua pabrik tersebut. Ia juga menekankan pentingnya audit menyeluruh agar istilah “plasma” tidak disalahgunakan untuk menekan harga TBS rakyat.
“Kami berharap ada tindakan nyata. Jangan biarkan istilah plasma dijadikan tameng untuk praktik yang menyimpang dari aturan,” tutur Muazam.
Selain dua pabrik tanpa HGU itu, Muazam juga menyoroti dua perusahaan perkebunan besar yang memiliki HGU ribuan hektare di Kecamatan Babahrot, yaitu PT Dua Perkasa Lestari dan PT Cemerlang Abadi. Menurutnya, kedua perusahaan tersebut belum merealisasikan kewajiban penyediaan lahan plasma bagi masyarakat sekitar, meski sudah lama menjanjikannya.
“Di bawah kepemimpinan Bupati Safaruddin, kami berharap kebun plasma untuk masyarakat miskin dan kurang mampu segera direalisasikan. Jangan sampai tanah masyarakat hanya jadi milik pengusaha,” ujarnya.
Muazam menambahkan, kedua perusahaan tersebut bahkan telah lama mengantongi nama-nama calon penerima plasma, namun hingga kini belum ada realisasi di lapangan.
“Anehnya, daftar penerima plasma sudah ada sejak lama, tapi masyarakat tak pernah menerima lahannya. Jangan sampai rakyat dijadikan kambing hitam, seolah-olah plasma sudah berjalan,” tutupnya. (*)