Di sebuah desa kecil bernama Ploly, Pulau Makian Halmahera Selatan, tempat matahari sering turun lebih cepat dari jam dinding tetangga. Lahirlah seorang anak lelaki yang kelak menulis jalan hidupnya dengan tinta keras kepala: Asbar Ikram. Anak kampung dari keluarga sederhana, yang lebih dulu mengenal cangkul daripada pena, lebih hafal suara parang menebas rumput daripada deru keyboard redaksi.
Masa kecil Asbar adalah buku tebal berisi bab-bab sederhana. Setiap pagi ia membantu orang tuanya di kebun: menyiangi, menanam, memikul hasil panen. Jika kebun sedang sepi, ia turun ke sungai atau pantai menjadi penambang pasir kecil, kadang mengeruk sendiri, kadang menjadi tenaga angkut para penambang dewasa. Upahnya? Hanya cukup untuk membeli buku tulis tipis atau sekotak pensil yang lebih sering patah daripada ambisinya.
Namun di tengah rutinitas tanah, pasir, dan keringat, ia justru menemukan dunia lain yang tak kasat mata: kertas. Bagi Asbar kecil, kertas bukan sekadar tempat menulis tugas sekolah, tetapi ruang aman untuk mencatat hal-hal yang tak bisa ia ucapkan. Dari situlah jejak jurnalistiknya bermula, bukan dari kamera mahal atau ruang redaksi mentereng, melainkan dari rasa ingin tahu yang tumbuh tanpa diminta.
Perjalanan pendidikan mengantarnya ke sebuah universitas di Maluku Utara. Kampus itu tidak mewah, tetapi cukup untuk membuka matanya bahwa hidup dapat dibaca dari berbagai arah. Di sana, ia aktif menulis di mading kampus. Tulisan-tulisannya yang sederhana menjadi pemanasan menuju dunia yang kelak ia tekuni: jurnalistik.
Langkahnya berlanjut hingga ke sebuah media nasional. Dari anak kampung yang dulu menulis di buku lusuh, kini ia berhadapan dengan realita lapangan yang tak bisa dipoles. Integritas menjadi tembok pertamanya. Ia dikenal sebagai wartawan yang enggan dipoles amplop, menolak godaan yang kerap datang halus di lapangan. Baginya, berita tetap berita, bukan titipan, bukan pesanan.
Reputasinya kemudian membawa namanya ke Haliyora, salah satu media terkemuka di Maluku Utara. Di sana, ia semakin dikenal: lewat tulisan yang terukur, lewat keberaniannya membuka tabir kasus yang kerap ditutup rapat, dan lewat konsistensinya menjaga akurasi.
Namun perjalanan itu tidak berhenti di redaksi orang lain. Ia mendirikan media sendiri: Salawaku.id. Sebuah nama yang berarti perisai, dan memang itulah yang ia cita-citakan. Perisai terhadap hoaks, terhadap informasi yang dipelintir, terhadap kepentingan yang menyaru sebagai kebenaran. Di era ketika kebohongan bisa viral lebih cepat dari fakta, Salawaku.id berdiri sebagai benteng kecil yang ia bangun dengan tekad besar.
Jejaknya di Halmahera Selatan dikenal baik. Ia merawat jaringan pertemanan tanpa memandang jabatan, latar belakang, atau gengsi. Ia bisa berbicara formal dengan pejabat, namun pada malam yang sama tertawa lepas bersama sesama wartawan. Ketegasannya di lapangan dibarengi humor yang menjadi nafasnya untuk tetap bertahan.
Dan di tengah perjalanan profesional itu, hidup kembali menyelipkan kejutan. Tepat pada 17 Mei 2024, di sebuah turnamen sepak bola tarkam di Desa Indong, Kecamatan Mandioli Utara, lembar baru dimulai. Pertemuan sederhana di tepi lapangan itu menjadi catatan awal yang kelak berlanjut panjang. Saat itu, Asbar dan sosok perempuan yang kini menjadi pioihan hidupnya sama-sama hadir sebagai pemain di tim masing-masing.
Di tengah riuh penonton, tatapan keduanya bersinggungan tanpa sedikit pun menduga bahwa momen itu akan menjadi pembuka cerita yang lebih besar.
Pertemuan kedua menyusul sebulan kemudian, pada 19 Juli, di acara pembukaan Popda di aula kantor Bupati. Suasana lebih formal, ruang lebih tertata, namun sambutan hangat antar keduanya terasa lebih akrab. Dari sinilah komunikasi mulai terjalin. Mereka mulai saling melempar pesan, berbagi cerita ringan di WhatsApp, dan tanpa sadar kedekatan itu tumbuh konsisten seperti berita yang disunting perlahan namun pasti.
Pada 7 Desember, keduanya sepakat bertemu di Kafe Bilqis Shop. Pertemuan itu bukan peristiwa besar, namun suasananya terasa berbeda. Di meja sederhana dan obrolan hangat, keduanya menemukan kenyamanan yang tak mereka rencanakan.
Seminggu kemudian, 15 Desember, mereka kembali bertemu di Kafe Stereck Tomori. Di pertemuan itulah hubungan mulai mendapat bentuk yang lebih jelas. Kepercayaan dibangun, harapan dititipkan, dan keduanya sama-sama menyadari bahwa mereka sedang menuju arah yang sama.
Memasuki awal 2025, hubungan itu semakin solid. Seperti seorang wartawan yang memastikan akurasi informasi sebelum publikasi, Asbar mulai mengenal keluarga pasangannya. Ia bersilaturahmi, menyapa, dan memahami lingkungan tempat perempuan itu tumbuh. Pada Rabu, 19 November, ia resmi meminangnya di kediaman keluarga di Desa Hidayat. Lamaran diterima, dan langkah menuju bab baru pun disepakati.
Kini, keduanya bersiap melangkah ke tahap paling sakral. Insya Allah, pernikahan akan dilangsungkan pada Rabu, 17 Desember 2025, di Desa Hidayat. Sebuah tanggal yang bukan hanya menjadi penanda acara, tetapi juga titik temu dua perjalanan panjang yang dipertemukan oleh waktu, kesederhanaan, dan kejujuran.
Dari anak penambang pasir kecil di Pulau Makian, menjadi wartawan yang berpegang teguh pada integritas, hingga pendiri media yang berdiri melawan hoaks dan akhirnya menuliskan bab cinta dalam hidupnya sendiri. Asbar Ikram membuktikan satu hal: bahwa hidup adalah rangkaian berita yang ditulis oleh keberanian.
Dan bahwa di tengah kesibukan mengejar fakta, manusia tetap membutuhkan rumah untuk kembali dalam bentuk seseorang yang membuat perjalanan itu layak diperjuangkan.
Pena yang lahir di Ploly kini menulis kisah yang paling personal: kisah tentang kerja keras, tentang kebenaran, dan tentang cinta yang menemukan jalannya sendiri.
