KETIK, BATU – Siapa tak kenal kawasan Payung di Kota Batu, Jawa Timur? Bagi generasi milenial, nama tempat ini menyimpan kenangan manis dan memiliki tempat tersendiri di hati.
Betapa tidak, jejeran kafe dan warung kopi (warkop) yang berdiri di lereng Gunung Panderman ini pernah menjadi tujuan favorit di masa jayanya, sekitar medio 2004 hingga 2009. Kawasan Payung selalu dipenuhi muda-mudi, terutama saat akhir pekan, menjadikannya lokasi wajib untuk "malam mingguan".
Pada Kamis, 4 Desember 2025, menjelang siang, suasana mendung menyelimuti kawasan Payung di Kelurahan Songgokerto, Kecamatan Batu. Sejumlah kendaraan tampak lalu lalang di jalur utama yang menghubungkan Pujon–Kota Batu (jalur Kediri–Malang) tersebut.
Namun, pemandangan kontras melingkupi sejumlah lapak di kawasan itu. Tak terkecuali lapak milik Yuliani.
Ketik.com menjadi pelanggan pertama hari itu. Yuliani, yang mengenakan baju cokelat, terlihat sedang membersihkan area warungnya yang berkonsep lesehan dengan sekat bambu.
“Monggo (silahkan), Mas,” sapa perempuan paruh baya itu ramah.
Usai membereskan warung, ia bergegas ke meja kasir dan menawarkan menu andalannya: pisang bakar dan jagung bakar. Ya, kawasan Payung memang sangat identik dengan jagung bakar sebagai menu utama yang melegenda.
Kehadiran coretan-coretan kecil di dinding bambu warung Yuliani kian memperkuat jejak sejarah romantisme ala generasi milenial. Dinding-dinding sekat itu dipenuhi tulisan nama pasangan, dibuat menggunakan tip-ex (stipo) atau pulpen. Coretan seperti "Romi & Julia Forever" menjadi saksi bisu pertemuan diam-diam, janji manis, dan patah hati yang pernah terekam di sudut-sudut lesehan ini. Ini adalah bukti visual bahwa Payung, di masa itu, adalah rumah bagi kisah-kisah asmara remaja.
Menyantap jagung bakar di tengah dinginnya suhu Kota Batu memang merupakan kombinasi yang tak tertandingi. Keindahan pemandangan alam perbukitan kian menambah suasana, ditemani secangkir kopi hitam atau susu cokelat hangat.
Bagi penulis yang kebetulan merupakan generasi milenial, nostalgia romantisme masa muda kian terasa. Saat ini, Payung memang telah kehilangan pamornya di mata generasi Z. Namun, bagi penulis dan sesama milenial lainnya, berkesempatan hadir di Payung kembali terasa seperti menyibak kenangan manis di kala remaja, saat baru mengenal arti sebuah percintaan. Sebuah senyum kecil pun tersungging. (*)
