Menelusuri Jejak Hotel Pelangi Malang, Dari Hotel Lapidoth hingga Jadi Cagar Budaya Bersejarah

18 Oktober 2025 11:15 18 Okt 2025 11:15

Thumbnail Menelusuri Jejak Hotel Pelangi Malang, Dari Hotel Lapidoth hingga Jadi Cagar Budaya Bersejarah
Hotel Palace tahun 1900 - 1970. (Foto: JIKN Kota Malang)

KETIK, MALANG – Kota Malang dikenal sebagai salah satu kota wisata terkenal di Indonesia, dengan banyak bangunan bersejarah yang menjadi saksi perjalanan waktu. Sayang rasanya jika keberadaan bangunan-bangunan bersejarah itu tidak dipahami asal-usul dan kisah di balik pembangunannya.

Sebagai destinasi favorit para wisatawan, keberadaan hotel menjadi bagian penting dari wajah Kota Malang. Karena itu, menarik untuk menelusuri sejarah berdirinya hotel-hotel di kota ini — cerita yang mungkin belum banyak diketahui oleh masyarakat luas.

Pada tahun 1819, wilayah Malang masih berada di bawah kepemimpinan Pasuruan. Saat itu, kepresidenan Pasuruan mencakup tiga wilayah, yaitu Malang, Bangil, dan Pasuruan. Seorang pejabat Belanda kemudian ditugaskan sebagai Asisten Residen di Malang untuk membantu mengatur pemerintahan daerah tersebut.

Selain itu, seorang putra pribumi juga ditunjuk untuk memimpin struktur pemerintahan kabupaten. Sosok tersebut adalah Raden Tumenggung Notodiningrat I, yang tercatat sebagai Bupati Malang pertama. Ia diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda berdasarkan Resolusi Gubernur Jenderal Nomor 8 tanggal 9 Mei 1820 dan dokumen Staatblad Nomor 16 Tahun 1819.

Foto Balaikota Malang tahun 1947 - 1950. (Foto: JIKN Kota Malang)Balaikota Malang tahun 1947 - 1950. (Foto: JIKN Kota Malang)

Pertumbuhan suatu daerah sangat dipengaruhi oleh perkembangan ekonominya. Hal yang sama juga terjadi di Kota Malang, yang mengalami kemajuan seiring dengan dinamika ekonomi pada masa kolonial pascaperang. Untuk menutupi defisit anggaran akibat perang yang berkepanjangan, pemerintah kolonial menerapkan kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel).

Kebijakan ini mendorong penanaman besar-besaran berbagai komoditas unggulan pasar internasional, seperti kopi dan tebu. Akibatnya, wilayah Afdeling Malang yang dikenal dengan perkebunan kopinya membawahi sejumlah daerah, antara lain Ngantang, Penanggungan, Turen, Karanglo, Gondanglegi, Kepanjen, Pakis, dan Kota Malang. (Dikutip dari Malang Retro Vaganza)

Dalam Kolonial Verslag tahun 1890 disebutkan bahwa Malang merupakan penghasil kopi terbesar di Jawa Timur. Pada periode 1887 hingga 1889, hasil produksinya mencapai 143.173 pikul, angka yang menunjukkan betapa pesatnya perkembangan ekonomi di wilayah Afdeling Malang saat itu. Selain perkebunan kopi, industri gula di Pasuruan juga tumbuh pesat dan membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pihak kolonial mulai mencari sumber tenaga kerja dari wilayah selatan Pasuruan, dan Malang menjadi pilihan utama karena potensinya yang besar. Berdasarkan laporan pemerintah kolonial Belanda tahun 1916, pertumbuhan penduduk di beberapa wilayah Malang meningkat signifikan — mencapai sekitar 150 persen di satu wilayah dan 40 persen di wilayah lainnya.

Di tengah meningkatnya aktivitas ekonomi dan kebutuhan tenaga kerja, Abraham Chr. Lapidoth, seorang warga berkebangsaan Belanda, memutuskan untuk mendirikan sebuah penginapan sebagai sarana akomodasi bagi para pekerja perkebunan dan pelancong dari Pasuruan.

Foto Jalanan Alun-Alun Kota Malang tahun 1900 - 1970. (Foto: JIKN Kota Malang)Jalanan Alun-Alun Kota Malang tahun 1900 - 1970. (Foto: JIKN Kota Malang)

Penginapan itu dibangun di Jalan Regenstraat, yang kini berada di sisi barat daya Alun-Alun Malang. Bangunannya memiliki perpaduan arsitektur landhuizen khas Belanda dengan gaya Joglo Jawa dan sentuhan Eropa klasik (Empire Style). Tempat tersebut kemudian dikenal dengan nama Hotel Lapidoth.

Hotel ini menyediakan 50 kamar dengan bangunan seperti rumah besar dan jalanan yang masih berupa tanah keras. Selain itu, fasilitas lain seperti kamar mandi disediakan dengan sederhana. 

Di halaman hotel ini ditumbuhi banyak tanaman keras dan pepohonan. Dengan begitu, suasana hotel terasa rindang dan sejuk. Abraham Chr. Lapidoth menjadi pengusaha pertama yang terkenal di Malang. 

Pada tahun 1870, hotel tersebut berganti nama menjadi Hotel Malang setelah mengalami perubahan kepemilikan. Meski namanya berubah, bangunan hotel tetap dipertahankan seperti bentuk aslinya.

Pada masa itu, pembangunan jalur kereta api juga mulai dilakukan, menghubungkan Malang dengan Pasuruan. Perusahaan kereta api milik pemerintah Belanda, Staatsspoorwegen (SS), membangun rel serta stasiun di sepanjang rute tersebut, yang kemudian turut mendorong perkembangan ekonomi dan mobilitas di kawasan Malang.

Pada 20 Juli 1879, jalur kereta api lintas Surabaya–Pasuruan–Malang resmi dibuka oleh Gubernur Jenderal Mr. J. W. van Lansberge melalui sebuah upacara meriah. Jalur sepanjang 112 kilometer itu tidak hanya menandai kemajuan transportasi di Jawa Timur, tetapi juga diiringi dengan peresmian Stasiun Malang yang berlokasi di sebelah barat Lapangan Rampal. Sejak saat itu, Malang mulai ramai dikunjungi para pelancong dan pebisnis yang betah berlama-lama karena udaranya yang sejuk dan menyegarkan.

Kemudian, pada tahun 1900, Hotel Malang berganti nama menjadi Hotel Jensen setelah diakuisisi oleh pemilik Hotel Berg, yang memindahkan usahanya ke sisi selatan Alun-Alun Kota Malang. Pergantian ini menyebabkan munculnya dua hotel dengan nama Hotel Jensen — satu berada di Jalan Regenstraat, dan satu lagi di Jalan Medan Merdeka Selatan.

Pada tahun 1915, Hotel Jensen menjalani renovasi besar-besaran yang dikerjakan oleh Biro Arsitek AIA (Algemeen Ingenieur Architecten). Gaya arsitekturnya diubah menjadi lebih modern dengan sentuhan Art Deco, dan setelah renovasi selesai, hotel tersebut resmi berganti nama menjadi Hotel Palace.

Perubahan ini tidak hanya tampak pada desain bangunan, tetapi juga pada kapasitasnya — jumlah kamar meningkat signifikan dari 50 menjadi 126 kamar, menjadikannya salah satu hotel terbesar di Malang pada masa itu.

Kemudian, pada 1 Juli 1928, terjadi perubahan status kepresidenan Malang. Momentum ini semakin menguatkan posisi Malang sebagai kota yang berkembang pesat dan layak diperhitungkan. Sejak saat itu, wajah Kota Malang mulai mengalami banyak transformasi menuju kota modern.

Pembangunan Balai Kota Malang dimulai pada tahun 1929, menandai awal penataan kota secara lebih modern. Seiring dengan itu, muncul pula kawasan pusat perbelanjaan baru. Kayutangan, yang awalnya merupakan area permukiman, bertransformasi menjadi kawasan perdagangan elit dengan deretan toko dan bangunan bergaya kolonial yang megah.

Namun, situasi berubah drastis ketika Jepang menduduki Malang pada 8 Maret 1942. Hotel Palace diambil alih dan berganti nama menjadi Hotel Assoma, sementara banyak bangunan lain turut mengalami perubahan fungsi. Misalnya, sekolah Katolik dijadikan Kantor Pusat Markas Kempetai Jepang dan Kantor Propaganda, serta sejumlah gedung lain digunakan untuk kepentingan militer pendudukan.

Nama Hotel Assoma bertahan hingga Jepang meninggalkan Malang pada 8 Oktober 1945, setelah itu hotel tersebut kembali menggunakan nama lamanya — Hotel Palace — sebagai simbol kembalinya masa baru bagi Kota Malang.

Pada periode 1945–1947, hotel ini sempat berganti nama menjadi Hotel Republik. Pergantian nama tersebut mencerminkan peran pentingnya pada masa perjuangan, karena Hotel Malang saat itu digunakan sebagai tempat berkumpul dan menyusun strategi perang oleh para pejuang kemerdekaan.

Namun, situasi berubah drastis ketika terjadi Agresi Militer Belanda I, di mana tentara NICA memasuki Kota Malang. Antara 22 hingga 31 Juli 1947, kota ini dilanda kekacauan besar dengan pembakaran massal terhadap sekitar 1.000 bangunan. Sejumlah bangunan penting menjadi korban, termasuk Balai Kota, Sekolah Cor Jesu, rumah-rumah warga, pertokoan di kawasan Kayutangan, dan tak terkecuali Hotel Palace yang ikut terbakar dalam peristiwa tragis tersebut.

Aksi pembakaran ini menyebabkan rusaknya menara kembar Hotel Palace. Aksi tersebut dilakukan sebagai perlawanan rakyat Malang pada pasukan NICA. Masyarakat Malang tidak rela jika bangunan dan gedung dipergunakan oleh Belanda. 

Membakar gedung-gedung tersebut dilakukan sebagai upaya menghambat dan melumpuhkan Kota Malang. Peristiwa tersebut dikenal dengan "Malang Bumi Hangus".

Pada tahun 1953, Hotel Palace resmi dibeli oleh seorang pengusaha asal Kalimantan bernama H. Sjachran Hoesin (1920–1999). Di bawah kepemilikannya, hotel legendaris ini berganti nama menjadi Hotel Pelangi pada tahun 1964.

Setelah pergantian nama, dilakukan renovasi besar-besaran yang mengubah tampilan bangunan, termasuk penghapusan menara kembar yang dulunya menjadi ciri khas arsitekturnya. Meski mengalami berbagai pembaruan, Hotel Pelangi tetap mempertahankan nilai sejarahnya dan hingga kini masih dikelola oleh keluarga besar Sjachran Hoesin.

Melalui SK Wali Kota Malang Nomor 188.45/35.73.112/2018 tertanggal 31 Desember 2018, hotel ini resmi ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya, sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2018 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Bagi wisatawan yang ingin merasakan sensasi menginap di hotel tertua di Kota Malang, Hotel Pelangi menjadi pilihan ideal untuk menelusuri jejak sejarah dan pesona klasik Kota Malang. (*)

Tombol Google News

Tags:

sejarah hotel di kota malang hotel palace hotel pelangi malang Hotel Malang Kota Malang