KETIK, PALEMBANG – Larangan terhadap awak media untuk mengambil foto dalam sidang perkara dugaan penyalahgunaan narkotika di Pengadilan Negeri (PN) Palembang memicu sorotan tajam dari berbagai kalangan.
Ketua Asosiasi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palembang, Fajar Wiko, dan wartawan senior sekaligus mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumsel, Oktaf Riadi, menilai tindakan hakim tersebut merupakan bentuk intervensi terhadap kerja jurnalistik dan pelanggaran terhadap kebebasan pers.
Dalam wawancaranya, Sabtu 11 Oktober 2025, Fajar Wiko mengutuk keras tindakan hakim yang melarang wartawan menjalankan tugas peliputan di ruang sidang terbuka.
Menurutnya, tindakan itu bukan hanya mencederai prinsip transparansi publik, tetapi juga bertentangan dengan amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Seharusnya kejadian seperti ini tidak perlu terjadi. Wartawan yang meliput sudah memiliki ID resmi dari PN Palembang. AJI Palembang mengecam keras tindakan tersebut karena menghalangi kerja jurnalistik dan menimbulkan pertanyaan mengapa pelarangan hanya terjadi pada kasus-kasus tertentu,” tegas Wiko.
Ia menilai perlu adanya standar operasional prosedur (SOP) yang jelas dan disepakati bersama antara lembaga peradilan dan insan pers agar kejadian serupa tidak terulang.
“Jurnalis bekerja dengan kode etik yang jelas dan dilindungi undang-undang. Pejabat, termasuk hakim, juga harus memahami batasan dan menghormati tugas wartawan. Ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi soal hak publik untuk mendapat informasi,” ujarnya.
AJI Palembang, lanjut Wiko, meminta agar PN Palembang mengambil langkah serius untuk memastikan kebebasan pers tidak lagi dihalangi di lingkungan pengadilan.
“Sudah cukup wartawan mendapat kekerasan dan intimidasi. Menghalangi kerja jurnalis berarti juga menghalangi masyarakat memperoleh informasi yang sah dan terverifikasi. Ini pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Pers,” tegasnya.
Wiko juga menambahkan, meski angka kekerasan fisik terhadap wartawan di Palembang tergolong rendah, namun tingkat intervensi terhadap kerja jurnalis masih tinggi.
“Intervensi itu awal mula munculnya kekerasan terhadap jurnalis. Padahal indeks kemerdekaan pers di Sumsel mulai membaik. Semua pihak termasuk lembaga negara dan aparat penegak hukum seharusnya memberi ruang terbuka bagi kerja jurnalistik,” pungkasnya.
Sementara itu, wartawan senior Oktaf Riadi menilai larangan hakim tersebut tidak memiliki dasar hukum, sebab sidang yang bersifat terbuka seharusnya dapat diliput oleh media.
“Kalau sidang terbuka untuk umum, tidak ada alasan untuk melarang wartawan mengambil foto atau video. Kecuali sidang anak atau perkara asusila yang memang tertutup untuk umum,” kata Oktaf.
Ia menilai hakim yang bersangkutan perlu memahami kembali aturan dasar tentang kebebasan pers
“Wartawan itu bekerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Jadi jangan asal melarang. Sekarang wartawan juga tidak mengganggu jalannya sidang, pakai HP, tidak pakai lampu blitz. Hakim seharusnya paham, bukan malah menghalangi,” tegasnya.
Oktaf bahkan menyindir keras tindakan hakim tersebut.
“Belajar lagi lah, hakim kok nggak tahu undang-undang pers. Baca dan pahami dulu sebelum melarang kerja jurnalis. Zaman sudah berubah, keterbukaan informasi itu hak publik,” tandasnya.(*)