Basani Situmorang "Dikuliti", Penggugat Pertanyakan Kompetensi Keahlian dalam Sidang PHI Palembang

12 Oktober 2025 16:02 12 Okt 2025 16:02

Thumbnail Basani Situmorang "Dikuliti", Penggugat Pertanyakan Kompetensi Keahlian dalam Sidang PHI Palembang
Proses persidangan hubungan industrial di PHI Palembang berlangsung secara terbuka dengan agenda pemeriksaan saksi ahli dari pihak tergugat. Kamis 09 Oktober 2025 (Foto: M Nanda/Ketik)

KETIK, PALEMBANG – Persidangan perkara perselisihan hubungan industrial antara karyawan dan Bank Sumsel Babel kembali digelar secara langsung di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Palembang, Kamis (9/10/2025).

Agenda sidang kali ini menghadirkan saksi ahli dari pihak tergugat, Basani Situmorang, yang keterangannya dipersoalkan oleh pihak penggugat.

Menurut pihak penggugat, sejumlah penjelasan saksi ahli dinilai tidak tepat, baik dalam menyebut dasar hukum maupun dalam memahami istilah ketenagakerjaan.

“Saat ditanya soal dasar hukum pekerja PHK karena mangkir dikualifikasikan sebagai mengundurkan diri, saksi ahli menjawab ‘berdasarkan Pasal 157A huruf 2 UU Cipta Kerja’. Padahal dalam UU Nomor 6 Tahun 2023, materi tersebut sudah dihapus dan pasal tersebut tidak mengatur hal dimaksud,” ujar pihak penggugat usai sidang.

Pernyataan tersebut juga sempat dikonfirmasi langsung oleh Ketua Majelis Hakim Romi Sinatra, SH., MH., dan Hakim Anggota Dr. Haryanto, SH., MH., yang menanyakan kejelasan rujukan pasal kepada saksi ahli.

Basani kemudian menjawab dengan nada ragu, “Kalau tidak salah di Pasal 157A huruf 2,” sambil melihat ke arah tim kuasa hukum tergugat.

Pihak penggugat menilai keterangan tersebut menunjukkan kurangnya penguasaan materi.

“Sulit dipercaya jika seseorang yang dihadirkan sebagai ahli dalam bidang hubungan industrial tidak hafal pasal-pasal ketenagakerjaan yang relevan dengan pokok perkara,” ujar penggugat.

Selain itu, saksi ahli juga disebut tidak tahu istilah umum dalam hubungan industrial seperti blue collar workers (pekerja lapangan), white collar workers (pekerja kantoran), serta right to disconnect — hak pekerja untuk memutus komunikasi di luar jam kerja.

“Istilah Right To Dosconnect ini diadopsi menjadi Undang-undang di 10 Negara anggota ILO PBB, seharusnya seorang ahli memahami hal tersebut,” tambah pihak penggugat.

Dalam persidangan, saksi ahli menyampaikan bahwa pekerja tidak boleh menolak mutasi karena merupakan bentuk perintah. Namun, pernyataan itu langsung dikoreksi oleh Hakim Thobari, SH., MH.

Hakim menegaskan bahwa Pasal 32 UU Nomor 13 Tahun 2003 tidak mengatur larangan bagi pekerja untuk menolak mutasi. Pasal tersebut justru menekankan agar penempatan tenaga kerja dilakukan tanpa diskriminasi.

Kuasa hukum penggugat menilai pernyataan saksi ahli tidak relevan dengan konteks perkara.

“Dalam kasus ini, penggugat sedang berada dalam proses perselisihan hubungan industrial yang belum selesai. Jadi mutasi tidak semestinya dilakukan secara sepihak,” ujar kuasa hukum penggugat.

Pihak penggugat juga menyebut keterangan saksi ahli tidak menjelaskan secara rinci mengenai ketentuan batasan hari kerja, waktu istirahat, hak lembur, maupun sanksi bagi pengusaha.

“Ketika ditanya mengenai prosedur bipartit dan tripartit sebagai syarat pengajuan rekonvensi, saksi ahli mengaku tidak menguasai hukum acara hubungan industrial maupun hukum acara perdata,” imbuhnya.

Meski demikian, pihak penggugat menyatakan menghormati proses peradilan dan menyerahkan sepenuhnya penilaian kepada majelis hakim.

“Kami percaya majelis akan mempertimbangkan seluruh bukti dan keterangan dengan kacamata hukum yang objektif dan normatif,” kata penggugat.

Dalam sidang yang sama, penggugat juga menyoroti Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara perusahaan dan serikat pekerja yang dinilai telah kedaluwarsa sejak 23 Agustus 2025.

PKB itu disebut bermasalah karena ditandatangani oleh pengurus serikat yang juga menjabat sebagai pejabat perusahaan setingkat Vice President, sehingga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UU Serikat Buruh.

Adapun gugatan ini diajukan oleh salah satu karyawan Bank Sumsel Babel yang meminta agar pemutusan hubungan kerja (PHK) dilakukan karena kesalahan perusahaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 154A ayat (1) huruf g angka 2, 4, dan 5 UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.

Dalam gugatan tersebut, perusahaan dianggap melakukan pelanggaran karena:

1. Membujuk atau menyuruh pekerja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum;

2. Tidak melaksanakan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja; dan

3. Memerintahkan pekerja melakukan pekerjaan di luar yang diperjanjikan.

Sidang akan kembali dilanjutkan dengan agenda kesimpulan dari kedua belah pihak pada pekan depan melalui E-Court. (*)

Tombol Google News

Tags:

Sidang PHI Bank Sumsel Babel Pengadilan Negeri Palembang