KETIK, ACEH TAMIANG – Di tengah lumpur yang masih menutup akses permukiman dan jalan-jalan sempit yang terputus oleh banjir, sebuah kisah memilukan muncul dari pelosok Aceh Tamiang. Banjir mungkin telah surut, namun air mata dan rasa getir warga yang terdampak masih mengalir.
Di sebuah becak tua yang berhenti di tengah jalan berlumpur menuju salah satu titik pengungsian terisolir, sekitar lima kilometer dari jalan nasional terdapat seorang ibu, seorang bapak, dan seorang anak kecil yang terlihat kelelahan. Perjalanan mereka bukan perjalanan biasa, mereka menyusuri desa demi desa hanya untuk mencari sedikit makanan.
“Kami ke kota dari siang, karena ada informasi pembagian bantuan. Tapi kami tidak dikasih karena kami bukan orang sana," ujar ibu lirih.
Mereka kembali dengan tangan kosong, hanya perut keroncongan dan harapan yang hampir putus.
Sejak banjir menghantam Aceh Tamiang, keluarga kecil ini hidup hanya dari takaran yang tak seberapa, kurang dari satu bambu beras yang diberikan kepala desa.
“Karena semua dibagi rata, kami satu desa ramee, makanya dapatnya sedikit,” jelas sang ibu dengan suara bergetar.
Setiap hari mereka memasak nasi hanya setengah sendok, sisanya pepaya mentah yang tumbang karena banjir.
“Saya masak pepaya tiap hari, dibanyakkan pepayanya untuk ganjal perut,” tambahnya.
Kisah sedih itu terungkap ketika rombongan Ketua DPD PDI Perjuangan Aceh dan anggota DPR-RI Fraksi PDI Perjuangan, Jamaludin Idham, tengah menuju lokasi pengungsian terisolir dengan membawa bantuan logistik, mereka menemukan becak keluarga tersebut berhenti di tengah jalan berlumpur.
Melihat kondisi mereka, Jamal langsung turun dan memberikan bantuan berupa beras, air minum, mie instan, telur, popok bayi, hingga minyak kayu putih yang diminta sang ibu.
“Bapak dan ibu masih belum makan, pasti masi lapar?” tanya Jamal kepada mereka.
Sang ibu hanya mengangguk. Staf Jamaludin segera menyeduh mie instan menggunakan air panas yang sengaja mereka bawa dalam termos besar. Sang ibu, bapak, dan anak kecil itu makan dengan lahap, seakan semangkuk mie instan adalah jamuan paling mewah dalam hidup mereka.
Setelah berbincang dengan keluarga tersebut, Jamaludin Idham menyampaikan bahwa banjir ini bukan hanya merendam rumah, tapi juga merendam rasa aman dan masa depan warga.
"Melihat kondisi seperti ini, hati saya sangat terpukul. Negara harus hadir, bukan hanya ketika kamera datang, tetapi ketika rakyat sedang paling lapar, paling takut, dan paling sendiri," ujar Jamaluddin, ujar Jamaluddin, 6 Desember 2025.
Ia menegaskan bahwa situasi di Aceh Tamiang dan lokasi banjir lainnya di Aceh bukan sekadar bencana alam, tetapi juga darurat kemanusiaan.
“Kami tidak boleh membiarkan satu pun warga bertahan hidup hanya dengan sepotong pepaya dan segenggam beras. Bantuan harus sampai, tepat sasaran, dan tidak boleh dibeda-bedakan berdasarkan alamat atau wilayah,” tambahnya.
Meskipun air perlahan surut, lumpur setinggi mata kaki hingga lutut masih menutup banyak desa, akses jalan rusak, dan banyak warga belum mendapat bantuan layak.
Di antara ribuan cerita pilu, kisah keluarga kecil ini menjadi simbol bahwa di Aceh Tamiang, bapak-bapak tetap berjuang, ibu-ibu tetap menahan lapar, dan anak-anak terpaksa belajar arti bertahan hidup terlalu cepat.
Karena sampai hari ini, setelah banjir pergi yang tersisa bukan hanya lumpur, tetapi juga luka yang belum ada jawabannya. (*)
