KETIK, SURABAYA – Ketua Komisi A DPRD Kota Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko, menyoroti tajam kebijakan baru Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yang mengubah skema bantuan pendidikan dalam Raperda APBD 2026.
Ia menilai langkah tersebut berpotensi menciptakan ketimpangan dan kecemburuan sosial di kalangan pelajar.
Menurut Yona, kebijakan yang hanya memberikan bantuan biaya pendidikan kepada siswa SMA/SMK swasta, sementara siswa negeri hanya memperoleh bantuan seragam, tidak memenuhi asas keadilan.
“Kami berpikir kebijakan ini tidak memenuhi asas keadilan. Baik siswa negeri maupun swasta sama-sama berasal dari keluarga miskin atau pramiskin. Kalau bantuan untuk yang negeri dihapus, pasti akan timbul polemik di bawah,” tegas Yona, usai rapat bersama Bagian Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat (Bapemkesra), Senin 20 Oktober 2025.
Selama ini, seluruh penerima Beasiswa Pemuda Tangguh baik negeri maupun swasta memperoleh bantuan biaya pendidikan sebesar Rp200.000 per bulan.
Namun mulai 2026, Pemkot berencana menghapus bantuan tunai bagi siswa negeri dan menaikkan bantuan untuk siswa swasta menjadi Rp500.000 per bulan.
Yona menilai kebijakan itu tidak hanya timpang, tetapi juga terlalu tinggi untuk satu kelompok penerima.
“Kenaikan untuk siswa swasta dari Rp200.000 menjadi Rp500.000 memang bagus tujuannya, tapi terlalu tinggi. Ini bisa menimbulkan kesenjangan sosial,” kritiknya.
Komisi A, kata Yona, tidak menolak peningkatan bantuan bagi siswa swasta, tetapi meminta agar besaran bantuan disesuaikan secara proporsional dan penerima diperluas.
“Lebih baik bantuannya dinaikkan jadi Rp250.000 saja, tapi kuotanya dua kali lipat. Jadi lebih banyak keluarga miskin yang bisa menikmati,” sarannya.
Selain besaran dana, Yona juga menyoroti mekanisme baru penyaluran bantuan yang rencananya langsung ditransfer ke rekening sekolah, bukan ke siswa. Menurutnya, sistem tersebut rawan penyalahgunaan jika tidak diawasi ketat.
“Kalau dana ditransfer ke sekolah, harus ada pengawasan. Jangan sampai ada sekolah yang menerima penuh padahal biaya SPP-nya lebih rendah. Ini bisa jadi celah penyimpangan,” ujarnya.
Politisi yang dikenal vokal itu menegaskan, Pemkot tidak boleh terburu-buru menjalankan kebijakan baru tanpa kajian mendalam.
Ia khawatir, perubahan skema justru menimbulkan gejolak di masyarakat dan mengaburkan semangat keadilan sosial.
“Setiap kebijakan publik harus berpihak pada keluarga miskin. Jangan sampai niat baik berubah jadi masalah sosial baru,” pungkasnya.
Sementara itu, Kepala Bapemkesra Kota Surabaya Arif Boediarto menjelaskan bahwa perubahan skema bantuan merupakan bagian dari restrukturisasi pengelolaan dana Kader Surabaya Hebat (KSH) agar lebih efektif.
Pada 2026, pengelolaan KSH akan dialihkan ke tingkat kecamatan dengan total anggaran mencapai Rp250 miliar.
“Kami ingin agar dana benar-benar digunakan untuk pendidikan. Karena itu, mulai tahun depan bantuan akan ditransfer langsung ke sekolah agar penggunaannya tepat sasaran,” terang Arif. (*)