Ketua DPRD Blitar Soroti PHK Massal TPL, Sindir Kebijakan Efisiensi Wali Kota

17 Oktober 2025 12:25 17 Okt 2025 12:25

Thumbnail Ketua DPRD Blitar Soroti PHK Massal TPL, Sindir Kebijakan Efisiensi Wali Kota
Ketua DPRD Kota Blitar dr. Syahrul Alim, Jumat 17 Oktober 2025. (Foto: Favan/Ketik.com)

KETIK, BLITAR – Di balik meja-meja kantor pemerintahan yang sibuk dengan laporan efisiensi anggaran, ada ratusan wajah cemas yang menatap masa depan tanpa kepastian. Mereka adalah para Tenaga Pendukung Lain (TPL) pegawai honorer yang selama bertahun-tahun menjadi roda penggerak pelayanan publik di Kota Blitar.

Kini, nasib mereka terguncang setelah keluarnya Surat Keputusan (SK) Wali Kota Blitar tentang rasionalisasi pegawai non-ASN minimal 30 persen.

Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal itu menimbulkan gejolak di kalangan pegawai dan masyarakat. Banyak di antara mereka telah mengabdi lebih dari satu dekade, namun harus menerima surat pemutusan kerja atas nama “efisiensi”.

Menanggapi kebijakan tersebut, Ketua DPRD Kota Blitar dr. Syahrul Alim menyuarakan keprihatinan mendalam. Dalam pernyataannya kepada Ketik.com, Syahrul menilai kebijakan itu tidak sensitif terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat bawah.

“Kami sangat prihatin. Meski ini hak prerogatif wali kota, tapi kasihan masyarakat kecil. Mereka ini tulang punggung keluarga, sudah lama mengabdi, tiba-tiba dihadapkan pada surat PHK. Ini bukan sekadar angka di laporan keuangan, tapi soal nasib dan dapur yang harus tetap mengepul,” ujarnya dengan nada tegas, Jumat, 17 Oktober 2025.

SK Wali Kota Blitar Syauqul Muhibbin itu memerintahkan seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD)memangkas sedikitnya 30 persen tenaga pendukung. Dengan sekitar 30 OPD di lingkup Pemkot, angka itu berarti ratusan orang berpotensi kehilangan pekerjaan sebelum akhir tahun.

Di beberapa dinas besar, pemangkasan itu membuat pejabat setempat kelimpungan. Mereka harus menentukan siapa yang tetap bekerja dan siapa yang terpaksa dilepas sebuah keputusan yang berat di tengah meningkatnya kebutuhan hidup.

“Banyak kepala dinas datang mengeluh. Mereka serba salah. Mau taat pada SK, tapi tak tega pada pegawainya. Ini beban moral yang berat,” kata salah satu pejabat Pemkot yang enggan disebutkan namanya.

Dalam dokumen SK bernomor 000.3.1/XXXX/410.030.2/2025, disebutkan bahwa kebijakan itu merupakan tindak lanjut dari surat Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan tertanggal 23 September 2025, yang menyebutkan adanya penurunan dana transfer ke daerah tahun 2026. Pemerintah daerah pun diwajibkan menyesuaikan belanja pegawai agar tidak membebani APBD.

Namun, bagi Syahrul, efisiensi seharusnya tidak serta-merta diterjemahkan dengan memangkas tenaga kerja berpenghasilan rendah.

“Seharusnya Pemkot mencari cara lain untuk efisiensi. Potong dulu pos-pos yang boros, tunda proyek yang belum prioritas. Jangan malah wong cilik yang dikorbankan. Mereka ini yang paling rentan,” tegas Ketua DPRD itu.

Ia juga mengingatkan bahwa keputusan sepihak semacam ini berpotensi menimbulkan gejolak sosial, apalagi di tengah tekanan ekonomi dan harga kebutuhan pokok yang terus naik.

Kebijakan Wali Kota Syauqul Muhibbin ini menambah daftar kontroversi di tubuh Pemerintah Kota Blitar. Setelah sebelumnya hubungannya dengan Wakil Wali Kota Elim Tyu Samba sempat retak karena perbedaan pandangan soal arah kebijakan, kini sorotan publik kembali tajam mengarah ke Balai Kota.

Beberapa pihak menilai langkah ini bukan hanya langkah teknokratis, tapi juga mencerminkan jarak antara pemerintah dan realitas sosial masyarakatnya.

“Kami tidak menolak efisiensi. Tapi efisiensi itu harus berkeadilan. Kalau hanya berhitung angka tanpa mempertimbangkan sisi kemanusiaan, pemerintah kehilangan makna keberadaannya,” ujar Syahrul.

Data internal yang diterima redaksi menunjukkan, rata-rata tenaga TPL di Blitar menerima gaji sekitar Rp1,5–Rp2 juta per bulan, tergantung masa kerja dan posisi. Sebagian besar bekerja di bidang administrasi, kebersihan, hingga pelayanan masyarakat di kelurahan dan kecamatan.

Bagi mereka, SK rasionalisasi bukan sekadar dokumen birokrasi melainkan surat yang bisa mengubah arah hidup.

“Saya kerja di kelurahan sudah 11 tahun, belum pernah telat masuk, tapi katanya tahun depan dihapus. Saya bingung harus kerja apa lagi,” kata salah satu TPL perempuan yang meminta namanya disamarkan.

Suara seperti itu kini bergema di banyak sudut kantor dan rumah tangga di Kota Blitar. Di antara mereka, yang paling ditakuti bukan hanya kehilangan gaji, tapi kehilangan harga diri sebagai bagian dari sistem yang selama ini mereka layani.

DPRD Kota Blitar berencana memanggil pihak eksekutif untuk meminta klarifikasi resmi atas kebijakan PHK massal tersebut. Syahrul berharap wali kota bersedia meninjau ulang SK, atau setidaknya memberikan skema transisi dan perlindungan sosial bagi tenaga yang terdampak.

“Fokus kerja pemerintah seharusnya adalah memastikan kesejahteraan rakyat. Bukan menambah beban hidup mereka,” pungkasnya.

Peringatan 80 tahun Jawa Timur dengan tema “Jatim Tangguh, Terus Bertumbuh” mungkin masih bergema di ruang publik. Namun di Kota Blitar, gema itu terdengar pahit bagi ratusan TPL yang kini justru harus berjuang agar dapur mereka tetap mengepul di tengah kebijakan yang disebut “efisien”, tapi terasa kejam.(*)

Tombol Google News

Tags:

Syahrul DPRD t TPL walikota Blitar Kota Blitar