KETIK, MALANG – Kampung Warna-Warni Jodipan menjadi salah satu destinasi bagi para wisatawan di Kota Malang. Kampung ini memiliki ciri khas warna-warni, mirip seperti favela di Rio de Janeiro, Brasil.
Kampung Warna-Warni terdiri dari Kampung Jodipan dan Kampung Tridi, yang terpisahkan Sungai Brantas. Sebagai penghubungnya, terbentang sebuah jembatan kaca, yang disebut Jembatan Ngalam.
"Kampung Warna-Warni digagas oleh mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pada awal tahun 2016. Mereka mendapat tugas untuk membenahi kampung kumuh menjadi tempat layak huni," kata pengelola Kampung Warna-Warni, Soni Parin.
"Karena program ini sifatnya positif, kami akhirnya menerima program tersebut," sambungnya.
Setelah mendapat persetujuan warga, mahasiswa UMM pun gerak cepat mencari sponsor. Melalui program Corporate Social Responsibility (CSR), PT Indana Paint, produsen cat merek Decofresh pun akhirnya setuju untuk bergabung dalam program bertajuk “Decofresh Warnai Jodipan”. Sebanyak dua ton cat yang dihabiskan untuk menyulap kampung kumuh menjadi kampung wisata.
Konsep warna-warni sendiri tercetus saat perwakilan dari Indana Paint survei ke kampung, untuk menentukan warna cat rumah warga. Karena setiap warga memiliki selera yang berbeda, maka pengelola kampung membebaskan warga mengecat rumah sesuai selera, asal berbeda dengan tetangga sebelahnya.
Para mahasiswa UMM yang sedang menjalani program Kuliah Kerja Nyata (KKN) pun dikerahkan, untuk membantu membersihkan, membuat mural, dan mengelola kampung.
"Setelah disulap menjadi Kampung Warna-Warni, di luar perkiraan warga ternyata banyak pengunjung yang datang ke lokasi kami. Ratusan hingga ribuan pengunjung per hari memadati kampung kami. Bahkan, pengunjung mancanegara pun banyak yang datang ke Kampung Warna-Warni ini," kata Soni.
Membeludaknya jumlah pengunjung kemudian menimbulkan masalah baru. Sampah pun mulai banyak yang berserakan. Warga akhirnya bergotong royong untuk membersihkan kampung.
Soni pun mengusulkan agar dibuat kotak amal bagi wisatawan yang berkunjung. Hasil yang terkumpul akan dipergunakan untuk kebersihan kampung," tuturnya.
Seiring berjalannya waktu, hal ini kurang efektif karena pengunjung membayar dengan seikhlasnya, maka dibuatlah tiket masuk bagi pengunjung. Pada saat itu dikenakan tarif Rp2 ribu per orang.
"Pendapatan karcis ini nantinya dikelola dan dikembalikan dalam bentuk lain berupa sembako, dan sebagainya bagi warga Kampung Warna-Warni," tandasnya. (*)
