Gelombang Perubahan dari Pesisir, Kisah Aktivis Muda Indonesia Guncang Forum Iklim Dunia

27 November 2025 16:24 27 Nov 2025 16:24

Thumbnail Gelombang Perubahan dari Pesisir, Kisah Aktivis Muda Indonesia Guncang Forum Iklim Dunia
Para pemimpin muda dari tiga benua yang turut menandatangani deklarasi (Foto: Dok. Life of Pachamama)

KETIK, JAKARTA – Tahun 2025 diprediksi menjadi tahun terpanas kedua dalam sejarah. Bagi Icheiko Ramadhanty, aktivis muda yang bekerja bersama komunitas pesisir Indonesia, ancaman itu nyata. Ia melihat langsung dampaknya: kenaikan permukaan laut, cuaca tak menentu, hingga turunnya hasil tangkapan ikan yang memukul ekonomi keluarga nelayan.

“Misalnya di Ambon, saya melihat bagaimana perempuan pesisir kehilangan penghasilan dari olahan ikan karena laut makin tercemar dan hasil tangkapan berkurang,” ujarnya.

Pengalaman itu mengantarkan Icheiko ke COP30 di Belém, Brasil, hingga 21 November 2025. Ia hadir sebagai satu dari 16 pemimpin muda Selatan Global terpilih melalui program Life of Pachamama, berkat kiprahnya di GAWIREA (Girls and Women in Renewable Energy Academy). Di forum tersebut, ia membawa suara perempuan, anak muda, dan masyarakat pesisir Indonesia.

Icheiko menegaskan pentingnya negara maju memenuhi pendanaan iklim tanpa menambah beban utang, serta memastikan dana Loss and Damage tersalurkan ke pihak yang terdampak. Ia menyebut COP30 berlangsung dalam ketidakpastian politik, namun juga membuka peluang percepatan energi terbarukan.

“Semua upaya tidak akan berarti tanpa keadilan iklim,” katanya.

Foto Acara Net Zet Hero yang digelar Icheiko bersama Gawirea (Foto: Dok. Gawirea)Acara Net Zet Hero yang digelar Icheiko bersama Gawirea (Foto: Dok. Gawirea)

Melalui GAWIREA, Icheiko memperluas literasi energi terbarukan di komunitas terdampak melalui program “Net Zero Heroes”. Program ini telah menjangkau lebih dari 1.000 anak muda di Indonesia dan Asia Pasifik, mayoritas perempuan.

Peserta belajar dasar transisi energi dan keadilan iklim, hingga merancang proyek komunitas. Sejumlah alumni kini mengembangkan inisiatif pengolahan sampah, konservasi mangrove, dan penggunaan panel surya di daerah terpencil.

“Banyak keluarga pesisir masih memakai genset, sementara kota besar bicara mobil listrik. Kesenjangan ini harus diubah,” ujarnya.

Kondisi itu menguatkan pandangannya bahwa kebijakan iklim harus lebih demokratis dan berpihak pada kelompok paling terdampak.

Kiprahnya membuat Icheiko terpilih dalam program Pathway to the Democratization of the South, bersama pemimpin muda dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Setelah enam bulan pelatihan kebijakan dan diplomasi iklim, mereka melahirkan Deklarasi Pemuda Selatan Global, yang dibawa ke COP30.

Deklarasi itu menuntut pendanaan iklim yang adil, pelibatan generasi muda dalam pengambilan keputusan, akuntabilitas perusahaan, serta perlindungan bagi pembela lingkungan.

Foto Aktivitas masyarakat pesisir (Foto: Pexels)Aktivitas masyarakat pesisir (Foto: Pexels)

Juan David Amaya, Direktur Eksekutif Life of Pachamama menegaskan bahwa negara-negara Selatan bukan hanya korban krisis, tetapi kekuatan politik yang harus dihitung dalam perjanjian iklim.

Icheiko sependapat. “Negara-negara yang paling terdampak justru punya ruang paling kecil dalam menentukan solusi. Suara kami tidak boleh hanya didengar, tapi harus masuk ke meja pengambil keputusan,” ujarnya.

Ia berharap semangat deklarasi itu terus hidup dalam aksi komunitas, kolaborasi lintas sektor, dan upaya mewujudkan masa depan bumi yang ditentukan secara setara oleh semua negara. (*)

Tombol Google News

Tags:

COP30 transisi energi terbarukan Pesisir GAWIREA Deklarasi Pemuda Selatan Global kebijakan iklim