KETIK, SURABAYA – Keputusan Mahkamah Agung (MA) mengangkat mantan hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Itong, sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) menuai kritik tajam. Itong diketahui baru saja menyelesaikan hukuman penjara atas kasus korupsi.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, Prof. Hufron, menilai pengangkatan tersebut bertentangan dengan norma hukum dan merusak etika publik.
Sebelumnya, Itong divonis lima tahun penjara setelah terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kasus suap terkait pengurusan perkara perdata pembubaran PT Soyu Giri Primedika (SGP). Setelah menjalani hukuman, ia kembali diangkat sebagai ASN oleh Mahkamah Agung.
Menurut Prof. Hufron, langkah MA ini melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 jo. PP Nomor 17 Tahun 2020 tentang Manajemen PNS.
“Pasal 87 ayat (4) UU ASN dan Pasal 250 PP 17/2020 sangat jelas. ASN yang dipidana lebih dari dua tahun, apalagi karena tindak pidana jabatan seperti korupsi, diberhentikan tidak dengan hormat. Itu berarti kehilangan statusnya secara permanen,” tegas Hufron di Surabaya, Rabu, 27 Agustus 2025.
Ia menambahkan, aturan ini diperkuat oleh Pasal 23 huruf b PP 11/2017 yang melarang siapa pun yang pernah dipidana penjara dua tahun atau lebih, serta yang pernah diberhentikan tidak dengan hormat, untuk diangkat kembali menjadi ASN.
“Secara normatif, pintu sudah tertutup rapat. Tidak ada mekanisme pemulihan otomatis maupun jalur khusus bagi mereka yang sudah diberhentikan tidak hormat,” kata dia.
Lebih lanjut, Prof. Hufron menyoroti sisi etika publik dari kasus ini. Ia mengatakan bahwa ASN adalah representasi wajah negara di mata rakyat. Mengangkat kembali seseorang yang terbukti korupsi sama saja mengirim pesan berbahaya.
“Itu seperti mengatakan bahwa korupsi bukan dosa besar. Padahal korupsi adalah kejahatan luar biasa yang merusak kepercayaan rakyat terhadap negara. Mengembalikan mereka justru mencederai rasa keadilan masyarakat,” tegasnya.
Ia juga menilai langkah MA berpotensi menimbulkan preseden buruk dalam penegakan hukum di Indonesia, khususnya terkait komitmen pemberantasan korupsi.
“Kalau seorang mantan hakim yang pernah tertangkap basah menerima suap bisa kembali menjadi ASN, bagaimana masyarakat percaya bahwa negara serius memerangi korupsi? Ini menghina akal sehat hukum,” ujarnya.
Melihat kondisi ini, Prof. Hufron mendesak lembaga terkait, seperti Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), untuk memberikan perhatian serius terhadap kasus ini.
“Kalau hukum sudah terang, seharusnya tidak boleh ada tafsir lain. Keadilan publik lebih utama daripada kepentingan pribadi. ASN yang pernah terjerat korupsi harusnya pintunya tertutup, bukan malah dibukakan lagi,” pungkasnya. (*)