KETIK, BLITAR – Blitar Raya kini menghadapi ancaman serius, yakni meningkatnya jumlah anak putus sekolah yang dianggap ikut mendorong aksi kerusuhan dan tindak anarkis. Kondisi ini disebut sebagai “darurat pendidikan kebangsaan” oleh kalangan pendidik.
Kepala Sekolah Kelas Bung Karno, Joko Pramono, mengingatkan bahwa lonjakan anak putus sekolah bukan sekadar persoalan akses pendidikan, melainkan cermin kegagalan dalam membangun karakter kebangsaan generasi muda.
“Anak-anak yang putus sekolah rentan terjerumus ke perilaku negatif, seperti kerusuhan dan tindakan anarkis. Mereka kehilangan pendidikan karakter dan kesadaran kebangsaan yang seharusnya menjadi bekal hidup,” ujarnya saat ditemui di Blitar, Rabu, 3 September 2025.
Fenomena anarkisme yang melibatkan pelajar, menurut Joko, sering dipicu oleh provokasi anak-anak putus sekolah. Ia menilai hal ini menandakan lemahnya pembinaan karakter di sekolah maupun di luar sekolah.
“Banyak pelajar yang terjebak dalam lingkaran negatif karena tidak ada arah pendidikan yang jelas. Mereka sebenarnya korban dari sistem pendidikan yang gagal membangun jiwa nasionalis,” tegasnya.
Untuk menjawab krisis ini, Joko bersama timnya menginisiasi Kelas Bung Karno, sebuah forum diskusi kebangsaan yang rutin digelar di Istana Gebang setiap dua minggu. Melalui program ini, anak-anak dibekali nilai nasionalisme, disiplin, tanggung jawab sosial, hingga semangat anti-kekerasan.
“Kami ingin anak-anak, baik yang masih sekolah maupun yang sudah putus sekolah, memahami identitas dan tanggung jawab mereka sebagai warga negara. Pendidikan karakter ala Bung Karno menanamkan cinta tanah air sekaligus menolak kekerasan,” jelas Joko.
Selain penguatan karakter, Joko menekankan pentingnya Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) untuk mengembalikan anak putus sekolah ke jalur pendidikan. Ia menilai PKBM mampu menjadi jembatan bagi anak-anak yang terhambat secara ekonomi maupun sosial.
“PKBM memberi ruang pendidikan yang fleksibel. Pemerintah daerah harus serius memperkuat PKBM dengan kurikulum kebangsaan yang relevan dan mudah diakses,” sarannya.
Joko menegaskan, darurat pendidikan kebangsaan ini tidak bisa ditangani satu pihak. Dibutuhkan kerja sama pemerintah daerah, sekolah, dan masyarakat.
“Kalau kita tidak bertindak sekarang, masa depan generasi muda Blitar dan bangsa ini akan semakin terancam. Gotong royong harus jadi dasar untuk keluar dari darurat pendidikan ini,” pungkasnya.
Situasi yang kini terjadi di Blitar menunjukkan bahwa pendidikan tidak lagi cukup diukur dari capaian akademik. Ketika anak-anak kehilangan akses sekolah dan arah moral, dampaknya langsung terasa dalam bentuk kerusuhan dan degradasi sosial.
Darurat pendidikan kebangsaan yang diperingatkan oleh para pendidik seharusnya menjadi alarm bagi semua pihak: bahwa masa depan bangsa hanya bisa diselamatkan melalui pendidikan karakter, nasionalisme, dan inklusivitas sistem pendidikan. (*)