KETIK, ACEH BARAT DAYA – Peternak ayam broiler Muhammad Hatta, warga Desa Blang Raja, Kecamatan Babahrot, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) akhirnya resmi menggugat Perusahaan Listrik Negara (PLN) ke Pengadilan Negeri (PN) Blangpidie, pada Rabu, 12 November 2025 kemaren.
Gugatan tersebut dilakukan setelah lebih kurang 18 ribu ekor ayam milik peternak mati akibat pemadaman listrik selama tiga hari di Aceh yang terjadi beberapa waktu lalu.
Kuasa Hukum Muhammad Hatta, Miswar, menyampaikan, sebelum pihaknya menggugat ke Pengadilan, kliennya sudah melakukan somasi sebanyak tiga kali terhadap PT. PLN di Jakarta untuk menuntut kompensasi kepada PT. PLN Persero. Di mana, somasi pertama dilakukan pada tanggal 6 Oktober 2025, namun tidak mendapatkan respon.
Kemudian, lanjut Miswar, somasi kedua dilakukan pada tanggal 13 Oktober 2025, namun PLN Persero Jakarta tetap tidak merespon. Dan terakhir kliennya melayangkan somasi ke tiga pada tanggal 20 Oktober 2025.
Namun, kata Miswar, PT. PLN UID Aceh baru membalas jawaban somasi kliennya tersebut dengan pokok jawaban hanya permohonan maaf kepada pelanggan (peternak) akibat pemadaman listrik.
“Klien kita sudah pernah melakukan somasi terhadap PT. PLN di Jakarta untuk menuntut kompensasi kepada PT. PLN Persero sebanyak tiga kali, tapi pihak PLN tidak pernah merespon somasi dari kliennya kami. Akhirnya kemarin Rabu (12/11/2025) kita sudah melayangkan gugatan terhadap PT. PLN ke Pengadilan,” kata Miswar di Blangpidie, Kamis, 13 November 2025.
Miswar menyampaikan, bahwa pemadaman listrik berturut-turut selama tiga hari sangat berdampak langsung pada kegiatan usaha kliennya yang sangat bergantung pada suplai listrik, terutama untuk pengoperasian sistem ventilasi dan penerangan kandang ayam. Akibat listrik mati selama berturut-turut tiga hari mengakibatkan lebih kurang 18.000 ekor ayam pedaging di salah satu kandang milik kliennya mati.
Serah terima surat kuasa antara peternak ayam dan Kuasa Hukum, Miswar di Blangpidie, Rabu, 12 November 2025. (Foto: T. Rahmat/Ketik)
“Bahwa pada 29 September 2025, telah terjadi pemadaman listrik selama lebih dari 12 jam selama tiga hari berturut-turut, tanpa adanya pemberitahuan resmi atau jadwal pasti dari pihak PLN. Padahal, klien saya sudah menyiapkan genset, tapi akibat tidak ada kepastian hidup listrik akhirnya genset klien saya meledak. Dan kalaupun klien saya membeli genset baru masalahnya minyak BBM juga tidak bisa dibeli sebab aktivitas SPBU juga terganggu,” tuturnya.
Kata Miswar, tindakan PLN yang tidak memberikan pemberitahuan resmi terkait jadwal pemadaman listrik dan tanpa memberikan kompensasi akibat dari pemadaman listrik tersebut kepada kliennya sebagai pelanggan in casu penggugat adalah bentuk kelalaian (negligence) yang memenuhi unsur perbuatan melawan hukum.
Hal tersebut, kata dia, sebagaimana disyaratkan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1229 K/Pdt/2006 serta Putusan Mahkamah Agung No. 2314 K/Pdt/2013. Sehingga beralasan secara hukum untuk dimintai pertanggung jawaban secara perdata kepada PLN untuk mengganti kerugian atas kelalaiannya itu.
“Bahwa, sebagai pelaku usaha atau pemegang izin usaha di bidang ketenagalistrikan, seharusnya pihak PLN selaku tergugat tunduk dan patuh terhadap Pasal 29 ayat (1) Undang-undang No. 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan untuk memberikan pelayanan yang baik kepada pelanggan serta memberikan kompensasi berupa ganti kerugian kepada pelanggan akibat kesalahan atau kelalaian dalam mengoperasikan ketenagalistrikan di Aceh,” ujar Miswar.
Tidak hanya itu, Miswar juga mengungkapkan, PLN selaku tergugat a telah melanggar Pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang mewajibkan pelaku usaha bertanggung jawab atas kerugian konsumen akibat jasa yang tidak sesuai dengan standar mutu sebagaimana mestinya.
Akibat kelalaian PLN yang tidak melaksanakan kewajiban pemberitahuan secara resmi terkait pemadaman listrik tersebut serta buruknya pelayanan kelistrikan di Aceh, kliennya telah mengalami kerugian materil senilai Rp 784.200.000. Selain kerugian materil, kliennya juga mengalami kerugian in materil berupa terganggunya reputasi usaha, kehilangan kepercayaan mitra, serta penderitaan moril atas kelalaian PLN dalam memberikan pelayanan publik yang seharusnya berkualitas. Adapun kerugian in materil tersebut ditaksir sebesar Rp1 miliar.
“Atas dasar itu, kita menggugat PT. PLN untuk membayar kerugian materil kepada klien saya secara tunai dan sekaligus sebesar Rp784.200.000. Kemudian PLN juga harus membayar kerugian in materil kepada klien saya secara tunai dan sekaligus sebesar Rp1 miliar,” pungkasnya.
Selain tuntutan kerugian materil Rp784.200.000 dan in materil Rp1 miliar, jelas Miswar, pihaknya juga menuntut kerugian lainnya. Jika ditotalkan secara keseluruhan, tuntutan yang diajukan sekitar Rp2 miliar. (*)
