Taman Budaya Saruma, Dekat Dilihat Tapi Jauh Disentuh

21 Agustus 2025 17:07 21 Agt 2025 17:07

Thumbnail Taman Budaya Saruma, Dekat Dilihat Tapi Jauh Disentuh
Salah satu rumah adat di Taman Budaya Saruma yang tak terurus (Foto: Mursal/Ketik)

KETIK, HALMAHERA SELATAN – Dahulu dielu-elukan sebagai ikon kebanggaan daerah Halmahera Selatan, nama yang sempat mengisi brosur wisata lokal, Taman Budaya Saruma, kini hanya bersuara lirih lewat desir angin, bau lumut yang menua, dan daun-daun karet purba yang berguguran tanpa penadah makna.

Padahal, taman ini dahulu pernah menjadi pusat kegiatan. Gelak tawa anak-anak, dentuman musik daerah yang mengayun, hingga langkah kaki pelancong pernah mewarnai tanah lapang yang dikelilingi pohon karet tua itu. 

Kini, wajahnya kusam, terabaikan, seperti catatan sejarah yang dipaksa diam dalam arsip yang jarang pernah dibuka.

Lantas, siapa yang perlu disapa dengan tanda tanya? Apakah pengelola kepariwisataan yang luput merawatnya, ataukah absennya alokasi anggaran yang membuat taman ini terjerembab dalam kesunyian? Pertanyaan itu, seperti bola liar, kerap dipantulkan dari meja rapat ke meja lain tanpa pernah menemukan gawang jawaban. 

Ironisnya, dalam waktu yang sama, hanya beberapa kilometer dari sana, Kali Swis di Kecamatan Bacan menjelma primadona baru. Meski dikelola dengan tangan seadanya oleh warga lokal, namun denyut ekonominya terasa jelas. Warung kecil tumbuh, perekonomian warga menggeliat, dan Kali Swis pun ramai dibicarakan di jagat maya. 

Sementara Taman Budaya Saruma, yang lebih strategis, hanya berjarak ±800 meter dari pusat pemerintahan, tampak kaku, dekat untuk dilihat, tetapi jauh untuk disentuh.

Apakah ini sebuah kebenaran yang berlawanan mental dalam pembangunan pariwisata? Kita sibuk mengagungkan yang jauh, sementara yang dekat justru dibiarkan terbengkalai.

Lebih canggung lagi, Taman Budaya Saruma sesungguhnya menyimpan potensi berlimpah, pohon-pohon karet purba yang eksotis, nuansa rindang yang menenangkan, hingga beberapa rumah adat dan penginapan yang dapat difungsikan sebagai ruang diskusi formal, suasana yang kini menjadi tren pariwisata berbasis pengalaman dan alam.

Bayangkan jika konsep Car Free Day yang kini digemari, disandingkan dengan wajah baru Kebun Karet. Satu sisi laut biru dan keramaian UMKM milenial, sisi lain hutan kota dengan nuansa teduh dan lintasan sejarah serta budaya yang bercampur.

Pilihan itu akan menempatkan Halmahera Selatan bukan sekadar sebagai persinggahan, melainkan destinasi dengan wajah ganda, maritim dan ekologis.

Liputan Ketik.com pada Selasa, 19 Agustus, mencoba menelusuri denyut kecil yang masih tersisa di taman kota itu. Beberapa karyawan perusahaan tambang tampak singgah, sekadar melepas penat di bawah teduhnya pohon karet. Namun keluhan mereka terdengar lirih, rumput tak terurus, sampah dedaunan menumpuk, dan aroma lembap yang mengalahkan udara segar. 

“Sayang sekali, tempat ini indah kalau dirawat,” ucap seorang pengunjung.

Itu mungkin bukan sekadar keluhan, melainkan sebuah pesan yang tak disangka, jika pekerja tambang yang terbiasa bergumul dengan kerasnya industri bisa melihat potensi taman itu, mengapa mata kebijakan justru tampak buta?

Namun, imajinasi itu masih terkunci. Barangkali bukan karena tidak mampu, melainkan karena belum sempat berpikir. Seperti seseorang yang sibuk menata taman di halaman tetangga, tetapi lupa menyapu halaman rumahnya sendiri.

Taman Budaya Saruma hari ini berdiri nyata, dari ikon kebanggaan menjadi ikon kenangan. Ia seakan berkata, pariwisata bukan hanya soal membangun infrastruktur baru, tetapi juga soal mental untuk merawat yang sudah ada. Sebab, pariwisata tidak hanya tentang menjemput wisatawan, melainkan tentang menjemput kesadaran.

Tombol Google News

Tags:

Halmahera Selatan Taman Budaya Saruma pariwisata Taman Kebun Karet Tidak Terurus