KETIK, MALANG – Nasib Tempat Pemakaman Umum (TPU) Sukun atau lebih populer dengan Kuburan Londo seolah mati suri. Taman makam yang memiliki penataan yang apik dan dipenuhi cerita masa lalu, pernah menjadi primadona bagi wisatawan khususnya penikmat sejarah di Kota Malang.
Kuburan Londo didirikan oleh pemerintah Belanda pada 1920 di masa Boueplan III. Banyak tokoh-tokoh berpengaruh yang dimakamkan, mulai dari pendiri RS Lavalette, pendiri Sekolah Pendeta Balewiyata, hingga makam Mami Dolly, tokoh dari pendirian lokalisasi di Surabaya.
Bahkan ornamen-ornamen khas Belanda, seperti patung malaikat, hingga makam-makam berbahan marmer asli pun masih tersimpan di sana.
Sayangnya, jejak-jejak sejarah di Kuburan Londo nyaris bernasib sama dengan penghuninya, terkubur dan menunggu terlupakan.
Makam salah satu tokoh Freemason yang disemayamkan di Kuburan Londo, menjadi daya tarik pengunjung. (Foto: Lutfia/Ketik)
Kondisi tersebut dibenarkan oleh Bagian Publikasi dan Humas Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kuburan Londo, Hariani. Sejak pandemi berlangsung, belum ada sentuhan untuk pengembangan wisata, khususnya dari Pemerintah Kota Malang.
"Saat ini kondisinya memang masih mati suri. Belum ada aktivitas untuk pengembangan potensi wisatanya," ujarnya, Sabtu 4 Oktober 2025.
Sebelumnya, program wisata seperti Dark Tourism, di mana pengunjung diajak berjelajah di kompleks pemakaman pada malam hari, sangat populer di kalangan wisatawan. Bahkan Pokdarwis harus membuka hingga 3 sesi ketika program tersebut dilaksanakan.
"Untuk Pokdarwis sendiri, mulai dari pandemi hingga saat ini belum ada pergerakan. Anggota yang masih aktif satu-satunya adalah saya. Cukup disayangkan, potensi wisata sejarah yang memiliki banyak cerita harus stagnan," keluhnya.
Hingga saat ini, banyak masyarakat pencinta sejarah yang menunggu Kuburan Londo dapat dikelola dengan baik. Menurut Hariani, salah satu yang memikat perhatian pengunjung ialah makam bergambarkan jangka dan penggaris segi tiga, simbol dari Freemason. Dalam nisan tersebut, bertuliskan nama DR. Eyken dan Allaris.
"Hingga saat ini masih ada mahasiswa yang berkunjung. Terus juga sekitar 8 bulan lalu saya kolaborasi dengan Jelajah Malang mengekspor Kuburan Londo dengan cerita-cerita sejarah di dalamnya," jelas penulis Trilogi Jelajah Kuburan Londo itu.
Mati surinya Kuburan Londo bukan karena tak ada niat untuk mengelola, melainkan minimnya dukungan dan koordinasi antar pihak yang berwenang. Menurut Hariani, butuh koordinasi antara Kelurahan Sukun, Pokdarwis, UPT Pengelolaan Pemakaman Umum, dan Disporapar Kota Malang.
"Menurut saya, matinya wisata Kuburan Londo ini karena tidak ada yang mengelola. Butuh koordinasi untuk membahas apakah destinasi wisata Kuburan Londo ini akan terus dikembangkan atau tidak. Jadi perlu komitmen bersama," tegasnya.
Terlebih bangunan gerbang di Kuburan Londo telah ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya di Kota Malang. Untuk itu ia berharap Kuburan Londo dapat kembali ditata dan dikembangkan dengan menambah rangkaian cerita sehingga keberadaannya tak sampai terlupakan.
"Saya pribadi ada rencana untuk mengaktifkan kembali. Tapi perlu dukungan karena kalau sendiri sangat berat. Kita ambil nilai-nilai kesejarahannya, potensinya dan edukasinya. Bukan hanya sebagai tempat perkuburan semata," pungkasnya. (*)