KETIK, SURABAYA – Sebuah monumen ayam jago setinggi tujuh meter kini berdiri di perempatan Jalan Raya Menganti Wiyung, Lidah Wetan, Kecamatan Lakasantri, Surabaya.
Patung tersebut diresmikan oleh Pemerintah Kota Surabaya pada Senin (1/9/2025) dan berlokasi tidak jauh dari makam Raden Sawunggaling.
Kehadiran monumen ini menjadi bentuk penghormatan sekaligus napak tilas untuk mengenang perjuangan Raden Joko Berek Sawunggaling, tokoh legenda Surabaya.
Monumen ayam jago bukan hanya sekadar ikon estetika, namun mengandung makna sejarah yang berkaitan dengan perjalanan hidup Joko Berek.
Lalu, apa kaitan patung ayam jago dengan Sawunggaling? Diceritakan dalam sejarah, Raden Sawunggaling dikenal hobi memelihara sekaligus mengadu ayam jago yang kemudian menjadi ciri khasnya.
Ayam itu selalu digambarkan sebagai sahabat sekaligus simbol keberanian yang menemaninya menempuh berbagai tantangan.
Sawunggaling merupakan putra penguasa Kadipaten Surabaya bernama Adipati Jayengrono dan Dewi Sangkrah, perempuan desa Lidah Donowati.
Saat dewasa, ia mencari ayahnya dengan ditemani ayam jago. Di gerbang Kadipaten, ia harus menghadapi dua saudara tirinya bernama Sawungrana dan Sawungsari dalam adu ayam dan memanah. Ia berhasil memenangkan tantangan tersebut.
Sang ayah kemudian menantangnya untuk membabat hutan Wonokromo, yang kelak menjadi cikal bakal wilayah Surabaya.
Ia pun berhasil menaklukan tantangan tersebut dan diangkat sebagai Jayengrono IV, tak lama kemudian ia harus menghadapi VOC serta saudara tirinya yang bersekongkol untuk meracuninya.
Dalam kisahnya, ayam jago menjadi simbol perjuangan dan keberanian, karena setiap kali diadu, ayam miliknya selalu menang.
Camat Lakarsantri, Yongky Kuspryanto, berharap keberadaan Monumen Ayam Jago dapat menjadi pengingat sejarah asal berdirinya Kota Surabaya di masa lampau sekaligus destinasi wisata seni dan budaya tradisional di kawasan Surabaya Barat.
Ia menjelaskan, pembangunan monumen tersebut berawal dari aspirasi warga Kelurahan Lidah Wetan yang mengusulkan kepada Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, agar dibuat penanda sejarah perjuangan Raden Sawunggaling di wilayah mereka.
Pemerintah kota kemudian menindaklanjuti permintaan itu dengan menghadirkan monumen yang kini menjadi ikon baru di kawasan barat Surabaya. (*)