KETIK, ACEH BARAT DAYA – Polemik izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi emas PT Abdya Mineral Prima di Kecamatan Kuala Batee, Aceh Barat Daya (Abdya), kian memanas. Izin seluas 2.319 hektare yang diterbitkan DPMPTSP Aceh itu menuai gelombang penolakan dari masyarakat, mahasiswa, hingga kalangan legislatif. Mereka menilai proses penerbitan izin cacat prosedur dan mengabaikan partisipasi publik.
Penolakan juga dilatarbelakangi kekhawatiran akan dampak lingkungan dan sosial. Aktivitas tambang dikhawatirkan merusak lahan pertanian, mencemari sungai, hingga memicu konflik di tengah masyarakat. Desakan agar pemerintah meninjau ulang bahkan mencabut izin tersebut pun semakin menguat.
Politisi Partai Aceh yang juga Ketua Komisi IV DPRK Abdya, Sardiman atau akrab disapa Tgk. Panyang, menegaskan penolakannya dalam rapat paripurna DPRK, Kamis, 28 Agustus 2025.
“Saya menolak keras izin eksplorasi ini. Penerbitan IUP tersebut jelas tidak profesional, mengabaikan mekanisme berjenjang, dan tidak ada persetujuan masyarakat. Pemerintah tidak bisa menutup mata atas persoalan ini,” tegas Sardiman.
Izin 2.319 Hektare
IUP Eksplorasi dengan Nomor 540/DPMPTSP/19/IUPEKS./2025 itu diterbitkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Aceh, meliputi lahan seluas 2.319 hektare di tujuh desa, yaitu di Kota Bahagia, Panton Cut, Kampung Tengah, Blang Panyang, Drien Beurembang, Krueng Batee, dan Alue Pisang.
Sejak kabar izin ini beredar, penolakan masyarakat dan mahasiswa langsung muncul. Mereka khawatir aktivitas tambang emas bakal merusak lahan pertanian, mencemari sungai, dan mengancam mata pencaharian warga.
“Kami tidak pernah diajak bermusyawarah. Ini bentuk pengabaian aspirasi rakyat,” ujar salah seorang mahasiswa dalam aksi penolakan.
Dugaan Manipulasi Tanda Tangan Keuchik
Sardiman mengungkapkan, enam dari tujuh kepala desa (keuchik) di Kecamatan Kuala Batee mengaku ditipu dalam proses pengumpulan tanda tangan rekomendasi. Mereka menandatangani dokumen tanpa memahami isi sebenarnya.
“Kalau benar para keuchik ditipu atau dimanipulasi, maka jelas perusahaan tidak transparan. Karena itu saya meminta Bupati Abdya segera memanggil para keuchik tersebut untuk dimintai keterangan. Jangan sampai masalah ini dibiarkan begitu saja,” tegasnya.
Ia menambahkan, pemerintah harus memastikan keterlibatan perangkat desa tidak dijadikan legitimasi palsu. “Jangan sampai nama masyarakat hanya dicatut untuk kepentingan perusahaan,” kata Sardiman.
Kritik untuk DPMPTSP Aceh
Sardiman menilai DPMPTSP Aceh tidak profesional dalam mengeluarkan izin tambang tersebut. Menurutnya, mekanisme wajib seperti konsultasi publik, rekomendasi pemerintah daerah, dan persetujuan masyarakat setempat diabaikan.
“DPMPTSP Aceh harus menjelaskan kepada publik bagaimana izin seluas 2.319 hektare bisa keluar tanpa ada musyawarah di tingkat gampong. Ini sangat janggal,” ujarnya.
Ia mengingatkan, pengelolaan sumber daya alam tidak boleh hanya mengejar keuntungan ekonomi, tetapi harus memperhatikan aspek lingkungan dan kesejahteraan rakyat. “Kalau hanya mengejar profit, rakyat akan jadi korban. Kita tidak ingin Abdya hancur karena izin yang cacat prosedur,” tandasnya.
Respons Pemerintah Daerah
Plt. Sekda Aceh Barat Daya, Amrizal, menyatakan pihaknya akan melaporkan perkembangan polemik ini kepada pimpinan daerah.
“Pemerintah akan berusaha mencari jalan keluar terbaik dengan tetap memperhatikan aspirasi masyarakat. Jangan sampai rakyat merasa terabaikan,” katanya.
Amrizal juga menegaskan bahwa pemerintah daerah terbuka menerima masukan dari masyarakat, mahasiswa, dan perangkat gampong.
Gelombang Aksi Penolakan
Sementara itu, sejumlah organisasi mahasiswa dan masyarakat berjanji akan terus menggelar aksi menolak PT Abdya Mineral Prima. Mereka menilai aspirasi rakyat tidak boleh dipinggirkan demi kepentingan segelintir pihak.
“Kami akan terus bergerak sampai izin ini dicabut. Suara rakyat tidak bisa dibungkam,” ujar salah seorang mahasiswa dalam unjuk rasa di Blangpidie.
Dengan semakin kuatnya penolakan berbagai elemen, publik kini menunggu langkah nyata Pemerintah Kabupaten Abdya maupun Pemerintah Aceh untuk meninjau kembali izin yang dinilai cacat prosedur tersebut. (*)