KETIK, BLITAR – Rencana efisiensi anggaran yang digulirkan Wali Kota Blitar, Syauqul Muhibbin, kembali menimbulkan riak di kalangan tenaga kesehatan. Wali Kota yang akrab disapa Mas Ibin itu berencana memangkas sejumlah pos anggaran.
Termasuk komponen yang paling sensitif: jasa pelayanan medis (JM) bagi dokter dan tenaga kesehatan di RSUD Mardi Waluyo. Hal ini tertuang dalam kebijakan terbaru, yang disebut sebagai langkah “rasionalisasi fiskal”.
Kebijakan ini muncul di tengah kondisi keuangan daerah yang disebut Mas Ibin sedang “seret”. Dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Blitar, menurutnya, kini hanya tersisa sekitar Rp800 miliar jumlah yang sudah termasuk untuk kebutuhan rutin, gaji aparatur, dan pembiayaan pembangunan.
“Kondisi sekarang, siapapun wali kotanya akan kesulitan mengelola anggaran. Pembangunan harus tetap berjalan, sementara uangnya terbatas sekali,” ujar Mas Ibin ketika ditemui usai melayat di kawasan Kepanjenkidul, Senin, 20 Oktober 2025.
Mas Ibin menegaskan efisiensi akan dilakukan menyeluruh, tanpa pandang bulu. “Evaluasi dan pemangkasan pasti dilakukan di semua sektor. Termasuk jasa pelayanan dokter, kalau memang diperlukan, ya terpaksa harus kita pangkas juga,” ujarnya.
Namun, pernyataan itu sontak menimbulkan reaksi keras dari internal rumah sakit daerah. Beberapa dokter RSUD Mardi Waluyo menilai langkah tersebut bukan hanya keliru, tapi juga berisiko tinggi terhadap stabilitas pelayanan publik.
“Kalau yang dikurangi TPP (Tunjangan Perbaikan Penghasilan), mungkin masih bisa dimaklumi karena itu dari APBD. Tapi jasa pelayanan itu sudah paling kecil dibanding rumah sakit lain. Kalau dipotong lagi, saya khawatir akan menimbulkan gejolak seperti dulu,” kata seorang dokter yang meminta identitasnya tidak disebutkan, Selasa 21 Oktober 2025.
Kekhawatiran itu bukan tanpa dasar. Sekitar satu dekade lalu, kebijakan serupa sempat memicu gelombang protes besar-besaran di RSUD Mardi Waluyo.
Kala itu, rumah sakit masih dipimpin oleh dr. Husein, dan ratusan tenaga medis menuntut pencabutan kebijakan pemangkasan JM. Tekanan publik yang masif akhirnya membuat pemerintah daerah waktu itu mundur dari kebijakan tersebut.
Kini, sejarah seolah hendak berulang. “Kami hanya berharap wali kota tidak mengulangi kesalahan yang sama. Jangan sampai kebijakan efisiensi justru menurunkan semangat kerja tenaga medis,” tutur dokter itu lagi.
Nada serupa datang dari kalangan perawat. Mereka menilai kebijakan pemangkasan bukan solusi, apalagi di tengah tingginya kebutuhan layanan kesehatan masyarakat pasca-pandemi.
“Pemerintah mestinya menambah, bukan memangkas. Contohnya di layanan home care, ini yang sangat dibutuhkan warga Kota Blitar," ucap seorang perawat senior.
“Banyak pasien pascaoperasi atau penderita diabetes yang sebenarnya bisa dirawat di rumah. Kalau ini dikembangkan, justru akan menaikkan citra Pak Wali di mata publik.”
Selain dianggap tidak tepat sasaran, kebijakan pemangkasan JM juga dinilai menyalahi aturan. Para tenaga medis mengingatkan, jasa pelayanan tidak bersumber dari APBD, melainkan dari pendapatan rumah sakit yang dibagi berdasarkan kinerja dan kontribusi pegawai. Besarannya diatur melalui Peraturan Wali Kota (Perwali).
“Jasa pelayanan itu bukan tunjangan tambahan yang bisa dihapus sepihak. Itu hasil pembagian profit rumah sakit. Semua sudah diatur jelas dalam Perwali,” tegas seorang dokter lain ketika dihubungi Ketik.com.
Di lingkungan ASN Kota Blitar, isu pemangkasan jasa medis kini menjadi topik hangat. Banyak yang menilai langkah Mas Ibin terlalu berani di tengah situasi sosial yang sensitif.
Sejumlah pejabat bahkan menilai, bila kebijakan itu benar dijalankan tanpa kajian matang, RSUD Mardi Waluyo berpotensi kembali bergolak, dan kepercayaan publik terhadap kepemimpinan Mas Ibin bisa tergerus.
Sampai berita ini ditulis, belum ada keterangan resmi dari Dinas Kesehatan Kota Blitar maupun manajemen RSUD Mardi Waluyo mengenai tindak lanjut rencana rasionalisasi tersebut. Namun di kalangan tenaga medis, satu hal kini mulai mengemuka.